politik

RUU HIP Sebagai Manifestasi Reflektif Penderitaan Ibu Pertiwi

Oleh : Alam Subuh Fernando

Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) terus memicu kontroversi. Hal itu disebabkan Pancasila yang semestinya berkedudukan sebagai dasar negara, ideologi bangsa, dan sumber dari segala sumber hukum telah direduksi menjadi rancangan sumber hukum (undang-undang).

Penolakan RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) merupakan manifestasi reflektif penderitaan rakyat yang telah diabaikan oleh wakilnya. Substansi RUU HIP terasa mempersonafikasi pancasila selaksa karya perseorangan hingga dirasakan sebagian pihak menafikan pancasila yang tersepakati dalam pembukaan UUD 1945.

Kehormatan (marwah) Pancasila sebagai norma yang fundamental (fundamental norm) sekaligus pandangan hidup bangsa (weltanschauung) terancam menjadi sekadar alat hukum (instrumental law). Dari segi nama, RUU HIP juga mengandung masalah. Sebab, Pancasila sejatinya bermakna haluan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Penggunaan kata Haluan Ideologi Pancasila dapat mengundang kesalahpahaman (misleading).

RUU yang kini menjadi polemik di publik ini memiliki banyak kejanggalan oleh beberapa pihak. Sebabnya, Pancasila sendiri sudah final dan dijadikan panduan dalam hidup berbangsa dan bernegara, sehingga tidak perlu lagi dituangkan dalam sebuah aturan Undang- undang.

Memaknai esensi Pancasila sebagai way of life perlu mengukur mentalitas atau kultur yang mampu mengintegrasikan kepentingan rakyat untuk hidup dalam ruang dan suasana dialogis dari kemungkinan-kemungkinan adanya konflik kepentingan elit. Kita melihat RUU HIP merupakan pertarungan kepentingan yang mampu mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendeknya, “teknologi kekuasaan” berhasil membangun “mental afirmatif” yang memang telah dengan begitu cerdik memanfaatkan sebagian besar rakyatnya yang beku terhadap keadaan politik saat ini.

kehadiran RUU HIP dirasa dapat memperlemah, bahkan kemungkinan terburuk adalah menghapus secara perlahan tata nilai dan norma-norma dasar sebagaimana yang tercantum dalam draft konsideran RUU HIP pasal 6 yang berbunyi: “Ciri pokok Pancasila yang terdiri dari asas Ketuhanan, Nasionalisme, dan Gotong Royong. Trisila dapat dikristalisasi dalam Ekasila yaitu Gotong Royong”. Juga muatan politis dalam RUU HIP ini dapat mengakibatkan citra yang buruk, karena simbol persatuan dan kesatuan akan menjadi kehancuran dan percahan sesama anak bangsa.

Jika dipaksakan menjadi undang-undang, UU HIP berpotensi digunakan sebagai tafsir tunggal pemerintah. Jika itu terjadi, penafsiran tunggal Pancasila sebagaimana terjadi pada masa Orde Baru melalui Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) akan terulang. Dampaknya, nilai-nilai demokrasi yang terus disemai pasti tidak bisa tumbuh subur. Karena itulah, tidak mengherankan jika sejumlah ormas keagamaan seperti Pimpinan Pusat Muhammadiyah, PB NU, dan MUI se-Indonesia menolak RUU HIP. Penolakan juga disuarakan kelompok purnawirawan TNI dan Polri, forum kiai/ulama, organisasi pemuda, asosiasi ahli hukum, akademisi kampus, dan perkumpulan lain di tengah-tengah masyarakat.

Pada konteks itulah kita harus jujur mengatakan bahwa untuk menghadirkan nilai-nilai Pancasila dalam bentuk tindakan nyata masih dibutuhkan perjuangan yang panjang. Menurut Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir, problem utama implementasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari disebabkan elemen bangsa ini belum mampu merawat kata. Belum ada satunya kata dengan perbuatan. Sebagai bangsa kita juga masih menghadapi persoalan seperti korupsi, terorisme, radikalisme, dan fenomena degradasi moral lainnya yang jauh dari nilai-nilai Pancasila. Sebagian elemen bangsa, terutama anak muda, juga kurang mengenal Pancasila dengan baik.

Tantangan mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila tersebut tidak harus diselesaikan dengan membuat RUU HIP. Pada konteks itulah lembaga seperti Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) memiliki fungsi yang strategis. Karena itulah, untuk menghindari kegaduhan yang meluas dan menguras energi sesama anak bangsa, DPR seharusnya membatalkan hak inisiatif pengusulan RUU HIP. Akan sangat sulit menjelaskan secara nalar mengenai urgensi, faktor kegentingan, dan tujuan yang berdimensi teologis dari pengusulan RUU HIP. Apalagi tampak jelas ada semangat Sukarnoisme yang chauvinistic di balik RUU HIP. Terasa akan lebih empatik jika energi anggota DPR dimaksimalkan untuk membantu pemerintah menangani dampak sosial pandemi Covid-19.

Penulis adalah : Mahasiswa Pascasarjana Universitas Airlangga

LAMPUNGMEDIAONLINE.COM adalah portal berita online dengan ragam berita terkini, lugas, dan mencerdaskan.

KONTAK

Alamat Redaksi : Jl.Batin Putra No.09-Tanjung Agung-Katibung-Lampung Selatan
Telp / Hp: 0721370156 / 081379029052
E-mail : redaksi.lampungmedia@gmail.com

Copyright © 2017 LampungMediaOnline.Com. All right reserved.

To Top