(Erisa Oksanda, Mahasiswi Psikologi Universitas Islam Indonesia
KL YES USA Awardee 2019/2020)
Jika berbicara tentang media social dan serba serbinya saya teringat cerita yang terjadi pada Oktober 2019. Pada suatu hari, teman saya memberikan brosur kepada saya yang bertuliskan Homecoming Dance: Stardust 2019 dan mengajak saya untuk menghadiri acara ini. Singkat cerita akhirnya tibalah saya dan teman saya di gedung acara, kebetulan acara diadakan dimalam hari dan tempatnya memiliki cahaya minim sehingga terlihat seperti tempat clubbing namun pada nyatanya itu hanyalah gedung biasa yang memang sering disewa untuk acara sekolah dan pada saat itu seluruh guru SMA datang untuk mengawasi para murid dan memastikan acara ini bebas dari narkoba dan alkohol. Karena ingin mengabadikan moment ini saya mengambil beberapa gambar dan video serta menguploadnya di laman instagram pribadi saya. Lalu keesokan harinya setelah acara tersebut saya dikejutkan dengan membeludaknya pesan yang masuk ke akun instagram saya dan mayoritas isi pesan tersebut adalah “astaghfirullah jauh jauh ke Amerika taunya dugem ya” dan “dih berjilbab kok dugem! Gak malu sama agama!”, sejujurnya itu sangat menyakiti hati saya dan bisa diklasifikasikan sebagai ujaran kebencian.
Padahal sore harinya sebelum pergi ke lokasi acara saya sudah membagikan foto di instagram story saya bahwa saya akan pergi ke pesta dansa bersama teman saya dan saya sudah menjelaskan isi pesta tersebut namun masih saja banyak orang yang menghakimi dan berkata seolah mereka mengetahui hal yang sebenarnya. Mereka yang memberikan komentar negatif tersebut hanya memikirkan kepuasan diri mereka tanpa memikirkan perasaan orang lain. Dari kejadian ini pula saya mulai berpikir : mengapa orang dengan mudahnya memberikan komentar negatif dan ujaran kebencian di media sosial dan bagaimana cara agar kita sebagai korban tetap bisa bersikap tenang dan menjaga kesehatan mental kita?
Media sosial sejatinya bukanlah hal yang tabu bagi seluruh penduduk bumi terlebih kita sekarang hidup di zaman serba canggih dan modern. Maka dari itu tidak heran jika anak anak hingga lansia sudah menjadi penikmat media sosial. Tak hanya itu, kualitas jaringan internet yang semakin memadai juga menjadi salah satu faktor meningkatnya penggunaan sosial media di seluruh dunia terutama Indonesia. Jika melihat dari data yang dirilis oleh Kominfo dan disampaikan oleh Bapak Ahmad M Ramli dalam sebuah kegiatan webinar, beliau mengatakan bahwa pengguna internet pada tahun 2020 adalah sebanyak 175,5 juta dan jumlah ini mengalami kenaikan jika dibandingkan dengan angka yang ada pada tahun 2019.
Jika kita pikirkan menggunakan akal sehat seharusnya semakin banyak pengguna internet dan sosial media maka seharusnya hubungan persaudaraan antar manusia di Indonesia semakin baik, karena pada dasarnya tujuan sosial media ini diciptakan untuk mendekatkan yang jauh bukan menjauhkan yang dekat. Namun realita yang terjadi di sosial media saat ini adalah sosial media menjauhkan yang dekat dengan adanya ujaran kebencian dan penyebaran hoax yang mengarahkan pada perpecahan.Salah satu pengajar dari Swiss German University mengatakan bahwa sebenarnya pelaku penyebar ujaran kebencian dan hoax adalah mereka yang mempunyai masalah psikologis. Mereka cenderung memiliki sifat yang impulsif dan kurang percaya diri hingga mereka mempengaruhi orang lain untuk kehilangan rasa percaya dirinya dan menjadi bagian dari mereka. Selain itu, pelaku penyebaran ujaran kebencian dan hoax cenderung tidak memiliki manajemen emosi yang baik dan sangat mudah reaktif terhadap sesuatu yang terjadi disekitarnya tanpa mengetahui kebenaran dari kejadian tersebut. Kemajuan teknologi yang semakin pesat juga merupakan penyebab mengapa orang dengan mudahnya mengakses semuah berita atau momen tertentu dan melontarkan komentar negatif ataupun menyebarkan hoax. Untuk penyebaran hoax seperti yang sering terjadi di group whatsapp ibu ibu komplek dan hal ini terjadi karena kurangnya edukasi tentang hal yang berkaitan sehingga terkadang sulit membedakan berita hoax atau fakta.
Saat melihat maraknya fenomena penyebaran ujaran kebencian dan berita hoax yang menggurita di tanah air saya teringat dengan satu teori yaitu teori uses and gratification yang dikemukakan oleh Herbert Blumer dan Elihu Katz pada tahun 1974 yang menjelaskan bahwa penonton atau penikmat media sosial memiliki kekuasaan penuh dalam pemilihan informasi dan membantah bahwa media berperan sebagai pemberi informasi dan penonto hanya penerima yang pasif. Teori ini sangatlah penting untuk diterapkan dalam kehidupan sehari hari karena kita sebagai pengguna media sosial seharusnya pandai memilah berita agar tidak termakan oleh hoax dan bisa menjadi agen pemberantas hoax di Indonesia. Selain itu, saat mendapatkan ujaran kebencian dari pihak lain kita sebagai penerima bisa bersikap lebih bijak dengan tidak membalas ujaran kebencian atau komentar negatif yang masuk ke kita. Kita bisa menutup mulut orang yang telah terang terangaan menyebarkan ujaran kebencian terhadap kita dengan meningkatkan kualitas diri dan prestasi. Karena sejatinya Tuhan memberikan kita dua tangan untuk menutup kedua telinga agar tidak memerdulikan ujaran kebencian dari orang lain dan memberikan kita akal dan pikiran untuk membuktikan kepada pelaku ujaran kebencian bahwa kita lebih kuat dan hebat dari yang mereka bayangkan.
Travel Lampung Jakarta, Diantar sampai Rumah Ongkos Murah Layanan Prima
Travel Jakarta Lampung PP Dapat Free Snack dan 1 Kali Makan
Travel Lampung Depok via Tol Tiap Berangkat Pagi dan Malam
Harga Travel Bekasi Lampung Antar Jemput Murah sampai Rumah
Travel Palembang Lampung Lewat Tol Hemat Cepat sampai Alamat
![](https://lampungmediaonline.com/wp-content/uploads/2017/06/LOGO-LMO2.png)