UPAYA MENINGKATKAN KUALITAS DAN
PROFESIONALITAS WARTAWAN
Deri Kusuma Jaya
Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Bandar Lampung
LATAR BELAKANG
Dewan Pers punya agenda penting, yakni melakukan sertifikasi
kompetensi wartawan di seluruh Indonesia. Ini kerja besar karena dilakukan
secara simultan di 34 provinsi, dengan melibatkan 18 lembaga uji kompetensi
wartawan (UKW). Lembaga uji yang telah mendapat izin dari Dewan Pers antara
lain Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI),
Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Lembaga Pendidikan Pers dr Soetomo,
dan beberapa perguruan tinggi di Indonesia.
Februari hingga Maret 2021 Dewan pers telah melaksanakan UKW di 18
provinsi, dengan hasil 896 wartawan dinyatakan kompeten. Dewan pers
menargetkan tahun ini mampu memberikan sertifikasi kepada 1.700 wartawan.
Sertifikasi kompetensi wartawan merupakan hal penting yang harus dilalui
wartawan sebagai bentuk legitimasi kecakapan dan peningkatan kualitas serta
profesionalitas wartawan. Sertifikasi bukan sekadar formalitas, tetapi berperan
penting dalam pembentukan wartawan profesional. Sertifikasi kompetensi
merupakan salah satu bentuk uji kelayakan sebuah profesi, sebagaimana profesi
lain, seperti dokter, notaris, pengacara, guru, dosen. Tak salah jika Dewan Pers
ingin setiap wartawan memiliki sertifikasi kompetensi, artinya lulus uji
kompetensi dan menjadi wartawan yang professional. Peraturan Dewan Pers No.
4 tahun 2017 tentang Sertifikasi Kompetensi Wartawan menyebut ada enam
tujuan sertifikasi.
1. Meningkatkan kualitas dan profesionalitas wartawan.
2. Menjadi acuan sistem evaluasi kinerja wartawan oleh perusahaan pers.
3. Menegakkan kemerdekaan pers berdasarkan kepentingan publik.
4. Menjaga harkat dan martabat kewartawanan sebagai profesi penghasil karya
Intelektual
5. Menghindarkan penyalahgunaan profesi wartawan.
6. Menempatkan wartawan pada kedudukan strategis dalam industri pers.
TINJAUAN PUSTAKA
Motif mengikuti sertifikasi wartawan Program sertifikasi kompetensi
wartawan sebenarnya sudah diluncurkan Dewan Pers lebih dari satu dekade.
Tercatat 18.000 wartawan telah lulus UKW dan menerima sertifikat serta kartu
tanda lulus uji kompetensi. Namun, sertifikasi kompetensi wartawan agaknya
belum dianggap penting. Sebuah kajian yang dilakukan Waluyo (2018) meneliti
efektivitas UKW terhadap profesionalitas wartawan mengungkapkan bahwa
masih adanya keengganan wartawan mengikuti sertifikasi disebabkan oleh dua
hal:
1. Sertifikasi tidak serta merta menaikkan pendapatan atau kesejahteraan
wartawan;
2. Belum ada komitmen perusahaan media yang menuntut wartawannya
mengikuti sertifikasi.
Berangkat dari penelitian tersebut, penulis melakukan kajian lanjutan yang
bertujuan untuk mengetahui motif-motif wartawan mengikuti UKW (Soehoet et
all, 2002).
Partisipan penelitian diambil dari beberapa wartawan televisi di Aceh yang
telah mengikuti UKW. Meskipun mengetahui bahwa sertifikasi tidak otomatis
meningkatkan kesejahteraan wartawan dan tidak diwajibkan oleh perusahaan
media tempat berkerja, mereka tetap berminat untuk mengikuti UKW dan
berusaha keras untuk lulus. Penelitian yang penulis lakukan menggunakan pisau
analisis teori motif Alfred Schutz.
Teori ini membagi motif menjadi dua jenis, yakni:
1. Because-motives, yaitu tindakan yang merujuk pada masa lalu. Dimana
tindakan yang akan dilakukan oleh seseorang pasti memiliki alasan dari masa
lalu ketika ia melakukannya.
2. In-order-to-motive, yaitu motif yang merujuk pada tindakan dimasa yang akan
datang. Di mana, tindakan yang dilakukan oleh sesorang pasti memiliki tujuan
yang telah ditetapkan.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa wartawan memiliki empat
motif yang mendorong mereka untuk mengikuti UKW.
1. UKW merupakan ajang pembuktian diri atas kemampuan mereka sebagai
wartawan (because-motives).
2. Lulus UKW manifestasi kebanggaan menjadi wartawan professional
(because-motives).
3. Mengikuti dan lulus UKW demi mendapat pengakuan dari masyarakat (inorder-motive).
4. Mengikuti UKW agar dibedakan dengan wartawan “abal-abal” yang banyak
berkeliaran di wilayah peliputannya (in-order-motive).
Sementara itu, belum banyaknya jumlah wartawan yang tersertifikasi,
menyebabkan profesionalitas wartawan sulit ditegakkan. Hal itu dapat terlihat dari
jumlah pengaduan masyarakat terhadap kasus sengketa pers. Tiap tahun Dewan
pers rata-rata menerima sekitar 300 aduan terkait pelanggaran kode etik wartawan.
Untuk tahun 2020, setidaknya sampai Juni, Dewan Pers menerima 97 surat aduan.
Sebanyak 42 pengaduan langsung, 27 surat tembusan, dan 28 surat lainnya.
Sampai 15 Juli 2020, 153 kasus telah diselesaikan. Sebanyak 89 kasus masih
dalam proses penyelesaian (AJI, 2020).
PEMBAHASAN
Menyelesaikan sengketa pers merupakan tugas Dewan Pers sebagaiman
termaktub dalam Undang-undang No. 40 tahun 1999 pasal 15 ayat 2 yang
berbunyi, “Memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian
pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan
pers.” Namun, Dewan Pers akan sangat kerepotan jika hanya menangani sengketa
pers yang sejatinya merupakan persoalan di hilir, sementara problem utama di
hulu tidak diselesaikan, yaitu meningkatkan kualitas dan profesionalitas
wartawan.
Oleh sebab itu betapa pentingnya sertifikasi wartawan untuk menunjukkan
bahwa hanya yang berkompetenlah yang layak menjadi wartawan.
Merumuskan kompetensi wartawan merupakan sesuatu hal yang tak
pernah selesai disepakati. Stefan Russ-Mohl, seorang sarjana Jerman, pernah
menuliskan bahwa menentukan kualitas dalam jurnalisme sangat mirip dengan
upaya “untuk memaku puding ke dinding” (Hanitzsch, 2001).
Namun seorang sarjana Jerman, Siegfried Weischenberg, memperkenalkan
model skematis kompetensi dalam jurnalisme yang terdiri dari lima faktor
(Hanitzsch, 2001) :
1. Professional competence. Kapasitas profesional termasuk pemahaman dunia
komunikasi massa dan jurnalisme.
2. Transfer competence. Kemampuan dalam meyampaikan pesan media massa
secara menatik kepada penonton/pembaca.
3. Technical competence. Meliputi keterampilan teknis mengusai berbagai
peralatan penunjang profesi wartawan, antara lain komputer, internet, kamera
dsb.
4. Expertise competence. Wartawan tidak hanya memiliki kemampuan di bidang
jurnalistik, tetapi memiliki pengetahuan yang mendalam mengenai berbagai
bidang liputan, misalnya ekonomi, politik, hukum dsb.
5. Social orientation. Meliputi kesadaran fungsi dan otonomi wartawan dalam
sistem media massa serta kemampuan mereka untuk mencerminkan dan
mengkritik perkembangan yang mengkhawatirkan dalam profesi mereka
sendiri.
Dewan Pers, dalam Peraturan Nomor 1/Peraturan – DP/II/2010,
mendefinisikan kompetensi wartawan sebagai kemampuan wartawan
melaksanakan kegiatan jurnalistik yang menunjukkan pengetahuan, dan tanggung
jawab sesuai tuntutan profesionalismenya yang dipersyaratkan. Jika hendak
dirumuskan secara singkat maka persyaratan kompetensi dapat dibagi menjadi
tiga, yakni kompetensi dengan penekanan pada sikap (awareness), pengetahuan
(knowledge) dan keterampilan (skill) atau dalam materi UKW dipopulerkan
dengan SPK. Masduki (2003) memaparkan ketiganya sebagai berikut
1. Sikap atau kesadaran (awareness); termasuk kesadaran mengenai etika, hukum
dan jenjang karier.
2. Pengetahuan (knowledge); mencakup pengetahuan umum dan pengetahuan
khusus sesuai bidang kewartawanan yang bersangkutan.
3. Keterampilan (skills); mencakum keterampilan menulis, wawancara, riset,
investigasi, menggunakan berbagai peralatan, seperti komputer, kamera,
peralatan edit.
Dewan Pers telah membakukan SPK dalam bentuk segitiga dengan
menempatkan sikap pada pucuk, pengetahuan bagian tengah, dan keterampilan
pada landasan (bawah). Sebagai ruang, bangunan segitiga keterampilan
menempati ruang lebih luas, besar dan banyak yang dipahami bahwa kompetensi
awal yang utama dan harus terus menerus dibangun dan dikembangkan adalah
keterampilan (Suhandang, Kustadi. 2004).
Penulis adalah penguji pada uji kompetensi jurnalis (UKJ) yang
diselenggarakan oleh Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI).
Telah beberapa kali penulis menguji pada ajang UKJ TV di berbagai kota.
Pada 2021 penulis ditugaskan IJTI untuk menguji pada UKJ TV di Jambi dan
Makassar. Dalam beberapa kali kegiatan UKJ TV tersebut, penulis mendapat
kesan bahwa sebagian besar peserta UKJ telah menguasai keterampilan sebagai
wartawan televisi.
Perkembangan teknologi produksi berita televisi yang mengandalkan
berbagai perangkat keras dan perangkat lunak baru, rata-rata dikuasai oleh peserta
uji. Meskipun, tak sedikit yang tingkat keterampilan jurnalistiknya masih minim.
Namun, lebih banyak lagi peserta uji yang memiliki kekurangan pada
pengetahuan dan sikap. Pengetahuan ini mengenai kedudukan pers di masyarakat,
serta sikap profesional seorang wartawan di masyarakat. Maka, tak heran jika
UKJ TV di beberapa lokasi berubah menjadi ajang sosialisasi dan pendidikan dari
penguji kepada peserta uji.
Menurut penulis, pada UKJ memang seorang penguji tidak bisa hanya
memberikan penilaian saja, tapi dituntut juga memberikan pemahaman dan
pengetahuan kepada peserta. Sehingga ketika selesai UKJ, peserta tak hanya lulus,
tetapi bertambah bekal pengetahuan dan wawasannya. Di akhir UKJ, rata-rata.
peserta menyatakan kegembiraannya karena telah dibimbing dan mendapat
pencerahan mengenai profesionalitas wartawan. Sebagai penguji, penulis berharap
banyak peran perusahaan pers tempat bekerja dan organisasi profesi wartawan
agar senantiasa memberikan pelatihan dan pembekalan untuk meningkatkan
kualitas dan profesionalitas wartawan setelah mengikuti UKW.
Media tempat wartawan bekerja tak bisa berlepas tangan dalam
meningkatkan keterampilan jurnalistik yang terus mengalami perkembangan
akibat teknologi baru. Sementara organisasi profesi, seperti IJTI, AJI atau PWI
dapat berperan dalam meningkatkan pengetahuan, sikap serta kesadaran profesi
wartawan.
DATAR PUSTAKA
Waluyo, Djoko. 2018. Tinjauan Standar Kompetensi Wartawan Untuk
Meningkatkan Kapasitas Media Profesionalisme. Jakarta: Jurnal Studi
Komunikasi dan Media.
Soehoet, Ali Moechtar Hoeta, Etika dan Kode Etik Komunikasi. Jakarta: Yayasan
Kampus Tercinta IISIP, 2002.
Masduki. Kebebasan Pers Dan Kode Etik Jurnalistik. Yogyakarta: UII Pers, 2003.
Suhandang, Kustadi. 2004. Pengantar Jurnalistik, Seputar Organisasi, Produk dan
Kode Etis. Bandung Nuansa.
Travel Lampung Jakarta, Diantar sampai Rumah Ongkos Murah Layanan Prima
Travel Jakarta Lampung PP Dapat Free Snack dan 1 Kali Makan
Travel Lampung Depok via Tol Tiap Berangkat Pagi dan Malam
Harga Travel Bekasi Lampung Antar Jemput Murah sampai Rumah
Travel Palembang Lampung Lewat Tol Hemat Cepat sampai Alamat
