Opini

Tingginya perkawinan usia anak dapat mempengaruhi tingkat perceraian

Oleh

Nur Qalbi Putri Ramadhani Ahmad

(Mahsiswa Fakultas Ilmu Hukum Institut Ilmu Sosial dan Bisnis Andi Sapada Pare-Pare Sulawesi Selatan)

Dan

Dwi Shinta Wati,

Muhammad Ardan Aldika

(Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bandar Lampung)

 

Manusia adalah makhluk sosial dan sejak dilahirkan manusia selalu hidup bersama dengan manusia lainnya di dalam hubungan pergaulan di tengah masyarakat. Pada saat ini, kondisi Masyarakat dalam pergaulan hidup juga tidak mengenal batasan usia, baik laki maupun Perempuan dapat berada dalam suatu lingkup pergaulan yang sama.

 

Saat kedua insan saling saling bertemu antara laki laki dan perempuan, berkumpul di suatu tempat bergaul diantara keduanya dapat melakukan pendekatan sehingga timbullah rasa sayang antar satu dengan yang lain.

 

Perkawinan adalah hubungan selamanya antara kedua belah pihak yang diakui dimata umum secara sah perkawinan dijalani dengan maksud menjalin serta membentuk sebuah keluarga yang didokumentasikan dan dibuktikan dengan adanya bukti surat atau akta nikah yang dicatat di Pengadilan Agama.

 

Berdasarkan Ketentuan Pasal 1 Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menjelaskan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

 

Selama usia keduanya telah menginjak usia dewasa, tentunya adanya perkawinan memang sudah menjadi tujuan hidup, akan tetapi yang menjadi persoalan bahwa seringkali perkawinan itu terjadi dibawh umur atau masih dalam usia anak.

 

Saat ini, peristiwa perkawinan usia anak yang dialami remaja berusia dibawah 18 tahun masih menjadi fenomena dibeberapa daerah di Indonesia. Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan praktik pernikahan usia anak masih tinggi. Di Asia Tenggara, Indonesia merupakan negara dengan kasus pernikahan dini terbanyak kedua setelah Kamboja dan peringkat ke-8 di dunia. Hal ini sangat mengkhawatirkan mengingat pemerintah telah mengatur dengan jelas batas minimal menjadi 19 tahun dan memperketat aturan dispensasi perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan.

 

Berdasarkan aturan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) telah menentukan batas usia ideal untuk menikah pada perempuan yaitu 21 tahun dan pada laki-laki 25 tahun.

 

Penetuan dasar batasan tersebut oleh BKKBN ditinjau dari aspek kesehatan, perempuan usia 21 tahun, organ reproduksinya secara psikologis sudah berkembang secara baik dan kuat serta siap melahirkan. Sedangkan dari aspek ekonomi, laki-laki umur 25 tahun sudah siap untuk menopang kehidupan keluarganya.

Penyebab pernikahan usia anak biasanya adalah faktor budaya dan sosial ekonomi, hal ini disebabkan oleh beberapa orang tua beranggapan bahwa anak dapat menjadi penyelamat keuangan bagi keluarga saat menikah, karena anak yang belum menikah akan menjadi beban keluarga.

 

Selain secara aturan dibatasi atau bahkan dilarang, dampak negatif pernikahan usia anak dapat dirasakan oleh ibu maupun anak yang akan dilahirkan. Saat usia anak dapat saja terjadi resiko buuruk saat melahirkan karena kondisi fisik alat reproduksi belum sempurna, panggul ibu yang sempit dan tidak tercukupinya asupan gizi saat hamil. Akibat lainnya berpotensi mengalami robek mulut rahim yang menyebabkan pendarahan, penyakit preeklamsia (komplikasi kehamilan), tensi darah naik, kaki bengkak, kejang saat persalinan, anemia, bayi lahir premature dan kematian ibu saat melahirkan.

 

Pernikahan usia anak dapat berdampak pada masalah sosial, seperti masalah perekonomian yang menyebabkan ketidakharmonisan dalam keluarga sehingga tujuan dalam membangun rumah tangga atau keluarga tidak tercapai. Hal ini disebabkan karena emosi yang masih labil, gejolak darah muda dan cara berfikir yang belum matang sehingga dapat menyebabkan rawan perceraian. Saat ini kasus perceraian tertinggi menimpa kelompok usia 20 hingga 24 tahun dengan kondisi usia pernikahan belum genap lima tahun.

Dampak lainnya perkawinan masih usia anak dapat menyebabkan kesehatan mental wanita menjadi terganggu.

 

Disamping itu juga menjadi bagian dari ancaman pada wanita muda yang rentan menjadi korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan belum tahu caranya terbebas dari situasi tersebut serta belum adanya kesiapan mental dari pasangan masing-masing. Data menunjukkan bahwa selain wanita usia dewasa, anak juga beresiko menjadi korban KDRT.

 

Anak-anak yang menjadi saksi atas KDRT orang tuanya akan tumbuh dengan berbagai kesulitan, seperti kesulitan belajar, terbatasnya keterampilan sosial, anak kerap menunjukkan perilaku nakal, beresiko depresi atau gangguan kecemasan berat.

Tingginya tingkat perceraian bukan hanya semata disebabkan karena perkawinan usia anak saja, akan tetapi ada juga pengaruh faktor lain, seperti: KDRT, kondisi ekonomi, adanya kesalahpahaman atau perbedaan pendapat antara laki-laki dan perempuan serta perselingkuhan.

 

Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 di atur mengenai ketentuan tentang batas usia seseorang dalam melakukan perkawinan yaitu sama-sama berusia 19 tahun, baik itu pria atau wanita. Peraturan tersebut merupakan pembaruan dari Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, dimana pada Undang-Undang Perkawinan sebelum dirubah usia minimal untuk melakukan pernikahan itu bagi pria itu 19 tahun dan wanita berusia 16 tahun. Perubahan dilakukan karena mempertimbangkan adanya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

 

Menurut Undang-Undang Perlindungan Anak, anak didefinisikan sebagai seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih di dalam kandungan. Dengan begitu, negara menganggap bahwa seseorang yang sudah berusia di atas 18 tahun atau mulai dari 19 tahun dapat dikategorikan sebagai dewasa, sehingga sudah diperbolehkan untuk menikah. Tapi standar kedewasaan dalam setiap ranah itu berbeda. Namun perlu di ketahui bahwa dalam Undang-Undang Nomor 16 tahun 2019, perkawinan usia 19 tahun ke atas adalah usia yang diperbolehkan untuk menikah.

 

Penyebab usia anak menikah diantaranya ada anggapan orang tua bahwa anak akan memiliki kehidupan yang lebih baik setelah menikah. Padahal, bila anak tersebut telah menikah dan putus sekolah, justru akan memperpanjang mata rantai kemiskinan serta hak dasar anak seperti mendapatkan pendidikan menjadi terampas. Dampak lain perkawinan anak dibawah umur adalah merugikan perekonomian negara karena sebanyak 1,7 persen pendapatan negara dapat hilang, karena beban yang harus ditanggung negara akibat perkawinan anak membawa dampak buruk bagi anak perempuan seperti gangguan kesehatan dan reproduksi, gizi buruk, gangguan psikologis, risiko kekerasan dalam rumah tangga, terhentinya pendidikan serta kurangnya kesejahteraan.

 

Anak- anak yang sedang mengalami masa pubertas, sangat rentan melakukan perilaku seksual sebelum menikah. Untuk mencegahnya banyak para orang tua menikahkan anak mereka. Untuk mengantisipasi terjadinya pergaulan bebas pada anak maka orang tua bukan menikahkan pada usia anak, akan tetapi harus memberikan pemahaman akibat dari perkawinan usia anak dan kesehatan reproduksi remajanya.

 

Berdasarkan hasil observasi atau riset di Pengadilan Agama Tanjung Karang Kelas 1A terungkap data bahwa pada tahun 2021 terdapat 38 data perkara dispensasi kawin, pada tahun 2022 terdapat 38 dan pada tahun 2023 terdapat 32 pengajuan perkara.

 

Pada dasarnya Pencegahan terhadap hal tersebut dapat diperoleh dengan mengikuti kelompok Bina Keluarga Remaja (BKR). Manfaat BKR adalah agar para orang tua remaja dan anggota keluarga lain mengetahui tahap pertumbuhan dan perkembangan anak dan remaja serta mampu memenuhi kebutuhan asah, asih, dan asuh.

Dari beberapa kasus yang terjadi, perkawinan usia anak disebabkan oleh kondisi budaya masyarakat di beberapa daerah masih memiliki pemahaman berbeda tentang perjodohan karena faktor adat dan budaya setempat yang lazim menikah pada usia anak. Hal ini disebabkan para orang tua masih memiliki kekhawatiran anaknya tidak kunjung menikah dan menjadi perawan tua.

 

Begitupun dengan anak-anak harus disibukkan dengan kegiatan berkreasi dan berprestasi agar terhindar dari hal-hal yang menyebabkan perkawinan usia anak. Anak-anak yang belum cukup umur sangat rentan mengalami eksploitasi ataupun penganiayaan setelah menikah. Anak remaja bisa mengikuti kegiatan di wilayahnya seperti Pusat Informasi dan Konsultasi Remaja (PIKR), dimana mereka mendapatkan informasi tentang pernikahan dini, seks bebas, dan narkoba.(*)

LAMPUNGMEDIAONLINE.COM adalah portal berita online dengan ragam berita terkini, lugas, dan mencerdaskan.

KONTAK

Alamat Redaksi : Jl.Batin Putra No.09-Tanjung Agung-Katibung-Lampung Selatan
Telp / Hp: 0721370156 / 081379029052
E-mail : redaksi.lampungmedia@gmail.com

Copyright © 2017 LampungMediaOnline.Com. All right reserved.

To Top