Oleh : Danila Triwahyuni
Pemilihan kepala daerah langsung akan diadakan akhir tahun ini. Kali ini, coblosan diawasi dengan sangat ketat karena kita masih dalam masa pandemi covid-19. Jadi diharap tidak ada kegiatan pengumpulan massa seperti kampanye di lapangan, karena bisa menyebabkan klaster corona baru. Para calon pemimpin harus taat protokol kesehatan.
Pilkada tahun ini terasa istimewa karena diadakan saat masa pandemi covid-19. Selain harus berlangsung dengan jujur, adil, langsung, bebas, dan rahasia, pelaksanaan pemilihan kepala daerah harus sesuai dengan protokol kesehatan. Karena jangan sampai jumlah pasien corona terus bertambah selesai pemilihan kepala daerah.
Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa ada potensi penularan virus covid-19 saat pemilhan kepala daerah, dan ketika ada yang melanggar protokol kesehatan, bisa langsung ditindak tegas. Selain Badan Pengawas Pemilu, maka Mentri Dalam Negri Tito Karnavian harus ikut mengawasi pelaksaanaan pilkada. Agar semua aman dan bebas corona.
Selain itu, polri harus tegas dalam mengontrol kedisiplinan masa pra pilkada agar benar-benar sesuai protokol kesehatan. Jokowi menambahkan, jangan sampai ada kerumunan orang saat pilkada. Jadi kita tidak bisa melakukan kampanye atau pendaftaran calon kepala daerah dengan didampingi banyak orang, seperti dulu. Karena melanggar aturan jaga jarak.
Selain mengawasi proses kampanye dan pendaftaran, maka Banwaslu yang dibantu oleh masyarakat juga turut mengatur agar proses pencoblosan sesuai dengan protokol kesehatan. Selain menghindarkan dari hukuman, jangan lupa tujuan utamanya, yakni mencegah klaster corona.
Pemilih harus pakai masker dan mencuci tangan serta wajib jaga jarak, jadi waktu pencoblosan ditambah sehari.
Walau kerumunan massa dilarang, bukan berarti calon kepala daerah tak bisa berkampanye. Sekarang jamannya online, jadi kampanye bisa dilakukan lewat media sosial.
Selain aman dari potensi penularan corona, kampanye jenis ini lebih hemat biaya. Karena tak membutuhkan panggung, sound system, dan pengisi acara yang jelas butuh bayaran.
Ketika ada yang melanggar peraturan dan tetap mendaftar sebagai calon kepala daerah dengan kawalan massa, maka ia bisa langsung ditindak.
Ketika tak pakai masker dan ngotot berjalan berdesakan, harus bayar 250.000 rupiah. Bisa juga diberi hukuman tambahan dengan kerja sosial untuk bersih-bersih. Walau ia calon pemimpin, harus dihukum, agar memberi efek jera.
Hukuman jenis lain juga bisa diberikan kepada pelanggar protokol kesehatan saat pilkada. Misalnya dengan denda berupa 1 pot tanaman atau bunga. Jadi hukuman tak sekadar denda uang, namun bermanfaat bagi lingkungan. Setelah dihukum jangan malah menyiapkan lebih banyak pot tanaman, namun harus sadar dan menaati protokol kesehatan.
Alternatf lan adalah hukuman yang ekstrim yakni menyiapkan peti mati. Cara ini dilakukan d daerah Jakarta Timur, agar pelanggar protokol benar-benar kapok. Jadi para pelanggar saat pilkada harus masuk ke sebuah peti mati dan merenungkan kesalahannya. Setelah beberapa menit, ia baru boleh keluar lalu takut mengulangi keteledorannya. Peti lalu disemprot disinfektan.
Walau seorang calon kepala daerah bisa juga petahana, namun Banwaslu dan aparat harus bertindak tegas. Ketika ia melanggar protokol kesehatan, misalnya lalai tak pakai masker, harus tetap kena hukuman. Jadi menunjukkan bahwa ia adalah calon kepala daerah yang bertanggung jawab dan menerima resiko ketika lupa dan melanggar protokol kesehatan.
Pemilihan kepala daerah adalah fase kritis karena bisa memunculkan klaster corona baru, saat kampanye maupun pendaftaran. Banwaslu harus tegas dalam menegakkan peraturan. Walau yang salah adalah seorang tokoh terkenal di daerah itu, harus dhukum dan tidak pandang bulu. Semua ini agar masyarakat tetap disiplin menaati protokol kesehatan.
Penulis adalah mahasiswa Universitas Pakuan Bogor