Opini

Seni Memberi dan Menerima: Strategi Konsesi ala Ed Brodow untuk Negosiasi Modern

Penulis

Dhimas Ulil Albab

Mahasiswa Institut Agama Islam SEBI Depok

 

“Saya pikir harga Anda terlalu mahal.”

Wira, seorang pemilik UMKM sabun herbal dari Yogyakarta, tertegun ketika salah satu calon pembeli dari luar negeri mengungkapkan pendapat tersebut. Wira dihadapkan pada sebuah dilema. Rumus klasik dalam negosiasi muncul, apakah ia berkompromi dengan nilai yang ditawarkan atau menyerahkan sepenuhnya? Yang jelas, Unique Selling Point (USP) sabun herbal tersebut bisa menjadi peluang ekspor menjanjikan bagi Wira.

Bagi sebagian besar pelaku usaha baru di Indonesia, kisah nyata seperti ini hampir dialami oleh banyak orang. Atau bisa dibilang negosiasi sering kali disalahartikan terjadi sebagai konsekuensi dari tawar menawar tanpa menghargai pihak lain dan hanya berpihak pada satu sisi. Begitu tidak adil bukan? Menurut Ed Brodow seorang pakar internasional yang telah cukup dikenal di bidang negosiasi—bukan begitu cara berpikir kita dalam melakukan negosiasi. Afirmasi seni yang bijak memberi dan menerima serta tidak selamanya sebuah janji bisa ditepati. Dalam buku Mike’s Negotiation Boot Camp, edisi bahasa_Indonesia mengatakan “Konsesi adalah bahasa negosiasi.” Setidaknya konsesi sama sekali bukan dianggap kelemahan melainkan merupakan inti dari pembuatan kesepakatan.

 

*Memahami Arti Konsesi dalam Dunia Nyata*

Dalam konteks negosiasi, konsesi diartikan memberikan sesuatu baik itu diskon, waktu, fitur, maupun fleksibilitas dalam rangka mendapat balasan yang sebanding atau lebih besar. Brodow menyebutnya sebagai “trading process” yang berarti memberikan sedikit pengorbanan agar mampu memperoleh imbalan bernilai jauh lebih tinggi.

Konsesi bukan berarti kalah dan menyerah begitu saja. Tujuan dari gugus strategi konsesi adalah untuk menegosiasikan pembangunan kepercayaan yang cair sehingga para pejabat lawannya mau bertindak terbuka. Seperti kata Brodow, “You don’t get what you deserve, you get what you negotiate.” “Anda tidak mendapatkan apa yang pantas Anda dapatkan, Anda mendapatkan apa yang Anda negosiasikan” Merujuk pada pernyataan Brodow tersebut, keputusan untuk memberi konsesi bisa menjadi penentu sukses bagi seorang negosiator.

Pada urusan jual beli Wira misalnya, ia masih dapat menemukan cara cerdas bernegoisasi setelah memberikan sejumlah pemikiran terlebih dahulu. Wira tidak menawarkan pembeli atau pasar tanpa syarat karena harga penuh dibayarkan separuh harganya biasa dengan mengubah volume pesanan menjadi setidaknya dua kali lipat minimal sebesar dua kali lipat yang sebelumnya ditetapkan. Di sini menjelaskan seni dari konsesi yang ditawarkan akan memperdayakan tanpa hanya menyerahkan martabat tapi melakukan trading dengan simbol serta makna penting tanpa harus merugikannya.

 

*Strategi Konsesi Menurut Brodow*

Salah satu hal penting yang disampaikan Brodow adalah jangan memberi konsesi secara gratis. Dalam bukunya, ia menjelaskan bahwa setiap konsesi harus diikuti permintaan balik (quid pro quo). Sebagai ilustrasi, jika Anda menawarkan pengerjaan dalam waktu yang lebih singkat, maka Anda mestinya meminta biaya lebih atau tambahan kontrak jangka panjang sebagai imbalan.

Ed Brodow menambahkan: jangan terlalu cepat memberi konsesi pertama. Dalam hal ini brodow berpendapat negosiasi pembuka dengan penawaran terbaik adalah langkah bodoh karena tidak menyisakan ruang untuk menangani dukungan selanjutnya. Di masa sekarang banyak pebisnis baru pro aktif berpikir agar harga ditawarkan “minimal” selama bisa bersaing, padahal bertentangan dengan pemikiran dari brodow bahwa berlebihan pada awal bertindak justru memunculkan kesan ego yang lemah dan merugikan posisi tawar.

 

*Simulasi Negosiasi: Ketika Konsesi Menjadi Kunci*

Sari seorang desainer freelance. Ia mendapat tawaran dari sebuah startup kecil untuk mendesain logo mereka. Sari punya ketentuan yang bukan negosiasi, dalam hal ini Rp3.000.000 untuk logo, nyatanya klien cuma bisa bayar Rp2.000.000. Daripada langsung mundur dan mencoret nama startup itu di daftar kliennya, Sari merancang solusi kustom: dia masih bisa mempertahankan Rp3 jt asalkan paket komplit—logo estetik plus kartu nama dan identitas visual.

Klien masih merasa lebih berkuasa karena dihadapkan dengan opsi desain berjenjang yang diberikan Sari, sementara desainer ini mendapatkan bayaran penuh layaknya tarif normal yang tidak menurunkan harga jual prinsipil jasanya.

Contoh lain Andi adalah konsultan bisnis independen yang biasanya mengenakan tarif Rp5.000.000 untuk satu sesi pelatihan intensif selama sehari penuh kepada UMKM. Suatu hari, sebuah komunitas wirausaha kecil menghubunginya dan ingin mengundangnya pembicara, namun hanya mampu membayar Rp2.500.000—setengah dari tarif biasanya. Alih-alih menolak mentah-mentah, Andi menawarkan duaopsi:

• Paket A (Rp5.000) dengan modul eksklusif dan sesi tanya-jawab 1-on-1 pasca acara. Sesi pelatihan 8 jam.

• Paket B (Rp2.500.000) : Sesi webinar berdurasi 2 jam melalui Zoom tanpa modul tambahan dan tanpa konsultasipribadi.

Klien pun merasa tetap mendapat nilai, karena bisa memilih sesuai kemampuan, dan Andi pun tetap memptahankan harga prinsipil untuk jasanya tanpa terpaksa menurut tarif aslinya.

Inilah contoh konsesi strategis: menawarkan pilihan di mana semua pihak merasa tidak dirugikan.

 

*Konsesi di Era Digital*

Di zaman digital seperti ini, kita sering bernegosiasi melalui email, chat, atau video call, seperti Zoom. Hal benar-benar mengubah kita memberikan konsesi. Dulu, kita bahasa tubuh atau nada suara; sekarang, semuanya harus lebih terstruktur, jelas, tertulis, dan mudah dipahami. Kita tidak bisa lagi mengandalkan ‘kode’ atau isyarat halus, semua penawaran harus disampaikan dengan jelas dan dicatat dengan rapi.

Yang menarik, dunia digital kesempatan memberikan konsesi yang tidak selalu berkaitan dengan uang. Memperpenjang masa uji coba, atau memberikan sesi konsultasi gratis, kita bisa menawarkan akses gratis. Konsesi singat bagi pelanggan, karena memberikan mereka manfaat nyata tanpa harus menguras kantong bisnis kita.

 

*Refleksi dan Kesimpulan*

Dalam dunia bisnis yang kompetitif dan penuh ketidakpastian, kemampuan untuk dengan cerdas aset yang tak ternilai. Namun lebih dari sekadar teknik tawar-menawar, negosiasi sejati adalah soal membangun relasi, memahami kebutuhan, dan menciptakan nilai bersama. Menemukan panggungnya, sinilah seni konsesi.

Kita perlu memahami bukan bentuk kekalahan, sebagai pebisnis pemula. Justru, kata Brodow, “Negotiation is not about dominating, it’s about compromising wisely.” Artinya “Negosiasi bukan tentang mendominasi, ini tentang berkompromi dengan bijak” Maka setiap kali kita memasuki negosia, mari berhenti yang menang atau kalah. Sebaliknya, tanyakan: apa yang bisa saya berikan untuk mendapatkan sesuatu? Dan saat itulah menjadi negosiator sejati.

LAMPUNGMEDIAONLINE.COM adalah portal berita online dengan ragam berita terkini, lugas, dan mencerdaskan.

KONTAK

Alamat Redaksi : Jl.Batin Putra No.09-Tanjung Agung-Katibung-Lampung Selatan
Telp / Hp: 0721370156 / 081379029052
E-mail : redaksi.lampungmedia@gmail.com

Copyright © 2017 LampungMediaOnline.Com. All right reserved.

To Top