Retorika Rahasia
: untuk Adimas Immanuel
| kepada rahasia
telah kubawa kegelapan
dalam cawan termalam
aroma tubuh filsuf
dan sepotong hologram
mengukir jendela-jendela
selayak dimensi ekstraksi
rerupa saji warna
serupa mematik kata
membawa aku kepada rahasia
rumah untuk berduka
air mata paling murni
sebagai saji.
melindap lampau
ke lorong-lorong paling bisu
perlahan kemarilah
kubawa kau nanti kepada sunyi
kepekatan abadi
rahasia paling terjaga rapi
| perjalanan rahasia
kereta api yang mengangkut pagi
manusia-manusia sepi berpura usil membaca
beberapa mencoba menelan beberapa kata
sepanjang perjalanan letih
paling tatih.
perjalanan masih kereta api menyeret sunyi
digerbong paling akhir
semacam sebuah restoran berjalan
bagi pemesan peti mati
| ruang rahasia
sebab tak akan kau temukan rahasia
sebagai ode ataupun perayaan akhir pekan
lelaki melukis wanita dengan darah
wajah-wajah pesunyi silih berganti
beberapa mereka terlalu setia
membawa kepulangan
dari ritus.
bernama masa lalu
yang paling purba
| pemegang rahasia
maka:akan kujaga!
saja apa yang layak dijaga
berlian dan mantra
ruh dan jiwa
belukar dan makna
bawalah itu ke dalam dingin
diam yang paling kutuk
ketuklah pintuku
pintu paling beluk dan likuk
sebab bila itu telah kujaga
kau tinggal punya asa
tanpa rasa.
2017
Serangkai Usia
: untuk Ibu, selalu
[i]
aku membawakanmu usia, ibu
tersenyumlah mata kelabu
ku eja setiap tanda
ruang-ruang lampau
langit menyala biru
lalang senantiasa nyanyi masa lalu
[ii]
bunga apa yang ingin kau tanam
hari ini, ibu?
ambrosia paling abadi
atau seperti dulu: lily-lily ungu
tak usah mendawai tangis ibu
biarlah kesah menuai resah
[iii]
tersenyumlah ibu
tersenyumlah bibir pucatmu
biarkan mimpi-mimpi basah
biarlah masa depanku mengelu
asal kerutmu memudar ibu
dan segala purba menjadi baru
[iv]
berlindunglah ibu,
bersembunyilah dari maut
aku tak kan restu
bila sebab itu berlaku
kematian itu perih, ibu
kematian itu perih
kemarilah ibu
aku pesunyi dibakar deru
[v]
akan tetapi, kata terakhir ngiang, ibu:
usia mana yang paling kekal, anakku?
2017
Membayangkan Masa Depan
: kepada kita, para penatap
seperti apa wujud masa depan
-itu-
kerinduan akan rumah
suasana tanah air
pelukan ibu
-atau-
sekadar kelelapan
di hari libur
(?)
2017
Muasal Rindu
kuterka-terka utara, jua
sepintas jalan yang kembali
masa lalu kenangan
menjelmakan purba
muasal mana paling rindu
angin berbisik
desah napas berisik
sebab tak bakal aku
sampai menjenguk ingat
sebelum tiba lirik terakhir
sementara utara
masih kuterka-terka
mata yang tak bisa baca
bertahun bertatap luka
pengelanaan dari sini
menuju fana
mengasah asa
mengutuk apa lagi
kau kelana
matahari membara tubuh
menghitam jiwa
sekelat lada
masih juga kau
mendekam diam
palung terdalam
mengeja baca, jua
2017
Khayalan Menjelang Siang
sedari tadi geliat tubuhku membayangkan wajah
sebuah retorika sejarah memenuh kenang dan bayang
aku tahu kau disitu, dibalik monitor kesunyian
menggeser foto-foto, menatapi lirih satu persatu
kau rindu, begitu aku: kita sama-sama merapal batas
berdoa agar waktu melindas gegas
mencari cara bagaimana malam bisa melindap
mengingat-ingat sentuhan dan ciuman terakhir
entah untuk yang keberapa kali rindu lahir ditahun ini
entah berapa doa pula kita tembang dirumah masing-masing
2017
Sebab Waktu Terlalu Laju
sabtu.
sesudah jumat atau sebelum minggu
diantara batas sesudah dan sebelum itulah: aku
mengumpulkan rindu.
mencoba menidurkannya
perlahan dengan nyanyian sihir yang mengalir
rindu tak pernah bisa tidur, aku tahu itu
sebab waktu, akan terus begitu
tak pernah peduli
terus laju meninggalkan masa lalu: aku.
2017
Tembang Dosa
sajak paling usang
penghujung doa
berhentilah mendosa, kau
tubuh wanita menjelma berhala
Tuhan menyirna
nafsu memompa paduan raga, kau
pendosa mendoa lewat sajak
menembang dusta
letih merayap keringat
jelaga membungkus jiwa
kemana lagi lari, kau
kota-kota dibalut beton
dosa-dosa tenggelam
setiap ujung senti
bagi tiap nadi
berhentilah, kau
gugurkan sajak terakhir
dari tembang dosa
paling usang
2017
Kubur Leluhur
kuberi ruang kubur
para leluhur
dipusat-pusat kota peradaban
menjadi patung-patung bicara
penarik wisatawan tertawa
sementara anak-anak kita
berkaca-kaca disudut mimpinya
ruang kubur
dipersiapkan sejak kala
para leluhur teramat luhur
merapalkan ayat-ayat murni
patuh memuji Sang Esa
akan dicabutnya nyawa-nyawa
kembali hadap pada-Nya
maka berdoalah
sebelum ruang kubur
menjadi isi leluhur
2017
Untuk Kau
Untuk Perkelahian Diam
Untuk Waktu Hari Ini
bernyanyilah, 24 jam yang lalu
setelah kata terakhir beberapa menit yang liku
hari ini peringatan kemerdekaan bangsa kita
kau upacara, ya setidaknya berkumpul bersama teman
sedang menyendiri aku bermenung beku
sehabis magrib kubaca kitab suci
aku sempat berikrar akan membaca beberapa ayat tiap malam jumat
untuk siapa saja yang berbuat baik kepadaku
musik, foto-foto, membaca chat yang lalu
ah! terkadang bosan hinggap dengan cepatnya
hari keempat aku dikota yang sama denganmu
menatapi benda-benda yang diserak ibu
aku menata kembali sebab bakal ada yang hari ini datang
membawa majalah yang memuat hasil wawancara beberapa waktu lalu
tentang seorang penyair sekaligus pahlawan
ah! terkadang waktu memang terlalu khianat
ini entah untuk yang keberapa, kata rindu ku eja
seperti deretan zikir atau jalan bagi para semut
entahlah, hidup sudah terlalu beku
tumpat segala lubang
menganga segala kenangan
ah, aku tercebur kesitu: kepada, kau!
2017
Tentang Penyair
Muhammad Husein Heikal, lahir di Medan, 11 Januari 1997. Tengah menyelesaikan studi mayor ekonomi di Universitas Sumatera Utara. Menulis puisi, juga cerpen dan esai untuk Horison, The Jakarta Post, Kompas, Utusan Malaysia, Media Indonesia, Republika, Investor Daily, dll. Karya-karyanya juga termuat dalam antologi Merindu Tunjuk Ajar Melayu (Esai Pilihan Riau Pos, 2015), Perayaan Cinta (Puisi Inggris-Indonesia Poetry Prairie, 2016), Pasie Karam (Temu Penyair Nusantara, 2016), 1550 MDPL (Pesta Penyair Kopi Dunia, 2016), Cinta yang Terus Mengalir (Ta’aruf Penyair Muda Indonesia, 2016), dan Matahari Cinta Samudra Kata (Hari Puisi Indonesia 2016).