MENYIBAK RINDU DI UJUNG SENJA
Dingin yang begitu ganjen merangkul dan memeluk dengan erat senja itu.
Di luar sana, remang lampu mulai menyala,
cahaya yang begitu temaram di teras depan.
Rintik hujan mulai membasahi sudut jendela
merembes melalui celah celah yang renggang
melembabkan tirai yang mulai lusuh dimakan usia.
Hembusan angin yang begitu gemulai membelai lembut,
menyibak rambut panjang terurai yang tampak kusut.
Pandangan sayu menembus rintik rinai yang terus mengalir,
ada rindu yang gamang pada tatapan itu.
Makin bergejolak mengganjal di hulu dada,
menelan setitik rasa yang tak dapat dijumpai.
Sedikit mengingat canda kemarin, kekata manja ataupun polah lucu.
Terkadang emosi yang mendewasakan.
Kini hanya bisa mengenang, menjaga rindu yang membias di ujung nisan.
Way Mengaku, Lampung Barat, 19 November 2016
PEREMPUAN SAJAK
Pergilah ke dapur,
pahami bahasa merica, bawang putih, atau ketumbar yg nanar meracik persenyawaan kekata yg liar.
Dalam diri perempuan,
kebun intuisi itu adalah sekumpulan bumbu yg takluk dijerang panas kukusan.
Maka tidaklah begitu, jika selesai kau setubuhi kehangatan bait bait itu pelahan mengeras,
jadi perkawinanmu yg kesekian di ranjang bait itu merupa wabah menahun.
Teruslah berenang, hingga kau telentang, pulas dihajar mabuk laut yg mengguncang.
Di sinilah sebenarnya hidup itu dimulai, ketika semua energi perempuanmu tak lagi lunglai.
Way Mengaku, Lampung Barat, 15 Mei 2016
PADA MALAMMU KUMENGADU
Sunyi, senyap, menarasikan nyanyian jangkrik di penghujung malam.
Bertafakur dalam sujud, berlinang dalam lipatan doa.
Biarlah kumengadu pada malammu, menaruh segala isi hati
yang telah lama tersimpan dan membatu.
Way Mengaku, Lampung Barat, 25 November 2016
ANGIN TERBANGKAN RASAKU
Senjamu mulai menjelma dingin, pada rintik hujan yang enggan tuk menjauh.
Semilir yang menari di kejauhan, menyibak ranting dedaunan bergesekan.
Ayun langkah dengan pasti, tatkala melihat pelangi indah di matamu.
Namun, pijakku sesaat terhenti, tatkala angin berhembus dengan kencang
memudarkan warna indah yang nampak, menerbangkan segala rasa yang pernah singgah.
Way Mengaku, Lampung Barat, 25 November 2016
Tentang Penulis: Yulyani Farida, lahir dan besar di Lampung Barat, ia menekuni puisi di Sekolah menulis Komsas Simalaba. Komsas Simalaba adalah sebuah wadah berkesenian para pemuda di Kabupaten Lampung Barat yang sehari harinya berprofesi sebagai petani kopi. Terbentuknya Komunitas ini sekaligus menandai bangkaitnya sastra kaum petani yang cukup produktife menghasilkan karya. Yulyani Farida, Sejumlah karyanya telah dipublikasikan di media www.wartalambar.com dan saibumi.com juga tergabung dalam buku antologi EMBUN PAGI LERENG PESAGI (akan terbit awal 2017)
DARI REDAKSI
Kami memberikan ruang kepada siapapun untuk berkarya. Bagi kami, kesusastraan nasional itu sesungguhnya adalah sebuah keberagaman; mulai dari sastra kaum pemula, sastra kaum tepi, hingga sastra kaum yg telah memiliki label nasional alangkah indahnya bila kita sepakat untuk dilihat secara bersama sama dan miliki tempat serta ruang yang sama pula untuk dihargai sebagai bagian dari corak warna dalam keberagaman. Sebab kita semua memiliki hak untuk hidup serta menemukan bentuk. Silahkan kirim karya anda ke email: riduanhamsyah@gmail.con atau inbox akun fb Riduan Hamsyah.