SAJIAN NEGERI TERTINGGAL
Hai!
Mari singgahlah sejenak!
Di Negeri yang kalian sebut tertinggal.
Intiplah!
Tak ada apa apa di sini,
hanya sajian hangatnya secangkir kopi luwak pelepas penat
sisa perjalanan tadi.
Hai!
Mari singgahlah sejenak!
Sambutan kabut tebal hangat menyapa
di puncak Bukit Gerdai pada penghujung pagi.
Lihatlah!
Bulir bulir kesiangan itu bergelantung indah di daun kopi tepi tebing.
Dengarlah!
Petani merinai sajak sajak kuning padi di pematang sawah
atau senandung butiran biji lada di halaman.
Hai!
Mari singgahlah sejenak!
Rasakan damai di relung jiwa, kala keramahan Mully Mekhanai
yang menyapa.
Nikmatilah!
Aroma seruit nila bakar yang terhidang menggelitik hidung,
aneka kuliner manjakan lidah.
Hai!
Mari singgahlah sejenak!
Jelajahi Gunung Pesagi nan mempesona, dakilah Gunung Seminung nan terjal,
atau arungi Danau Suoh yang penuh tantangan.
Mari!
Nikmatilah setiap jengkal sajian hangat Negeri tertinggal,
Lampung Barat surga di sudut Lampung.
Way Mengaku Lampung Barat, 16 Oktober 2016
Ket :
Bukit Gerdai : Negeri atas awannya Lampung Barat
Mully Mekhanai : Sebutan bujang gadis suku Lampung Barat
Seruit : Sambal khas Lampung Barat
NESTAPA WANITA PARUH BAYA
Perempuan paruh baya di sudut dapur, wajah letih hampir berkeriput
penuh semangat meniup bara kayu setengah kering yang hampir padam.
Asap pekat yang membubung di sela sela geribik menghitam.
Tangan yang mulai renta terus mengaduk kuali di atas tungku,
segenggam beras tak kunjung kering sebab air terlalu banyak.
Bulir bulir pilu menetes di sudut lipatan matanya mengalir perlahan,
dengan bayang samar pandangi tubuh ringkih yang terbaring lemah
di balai bambu beralas tikar lusuh.
Gadis mungil usia 5 tahun itu, dalam lelap memanggil sang lentera.
“Ayah,,ayah,,adek kangen, peluk adek ayah.”
Direngkuhnya tubuh yang terkulai itu.
Terisak dengan sedikit gumaman,
“Mengapa putriku harus hidup seperti ini tuhan? Adilkah Engkau padaku?
Tangis yang semakin pecah.
Angan berandai, bila sang surya tetap di sini
mungkin langit tak kan pernah mendung.
Mencoba beri ketenangan hati, sebuah kecupan lembut di kening berpeluh itu.
Dengan tergegas mengangkat nasi bubur yang tertanak, ingat si manis yang sedari
pagi belum menyentuh nasi.
Dalam linang berharap keajaiban meluruhkan segala kesah.
Way Mengaku, 22 Oktober 2016
PILUKU
Sedanku menyayat pilu, melepasmu menancap nisan
langkah gontai tak bertuah
senyap mencekam istana mungil.
Pecah tangisan si kecil yang tak terjamah
kala lena haru membiru,
celoteh si sulung menyayat pilu ketika tanya kurir pagi.
Butiran air mata menepis bisikan
masih ada bunda yg memelukmu.
Way mengaku, 10 Mei 2016
RINDU KELANA
Dalam diam, menerawang
mengemis waktu berputar arah
kala kursi masih bersanding
rasanya baru kemarin
hadirmu di kursi itu,
saat tatapmu kuliti tubuh ini
kuhela nafas yang terbenam
tersipu dalam kebahagiaan.
Indah itu telah berlalu
tinggal lah duri terbungkus waktu,
tak mampu kukatakan
betapa pilu bila isakan
kala maut membentang jarak.
Suatu hal yang ingin kupahami
“ berwujud apa kau di sampingku? “
Way mengaku, 06 April 2016
MENGENANG LUKA 94
Bukan membuka luka lama
hanya membayang keras
membekas di ingatan
akan tragedi alam di ujung Sumatera.
Dini hari bulan Ramadhan
gemuruh berdengung di kejauhan
bumi berguncang hebat
meluluh lantakkan segala isinya
memporak porandakan seluruh tatanan alam.
Air mata kepedihan hiasi,
ratapan kepiluan dan kegetiran
suasana mencekam sepanjang malam.
Kini hanya menyisakan trauma tragedi silam.
Way mengaku, 02 juni 2016
NOSTALGIA
Bulir-bulir haru mengalir melintasi pipi,
mengendap di secarik sapu tangan
yang kau tinggalkan.
Dan hari jadi ini,
saat usia kian menanjak
kembali nostalgia menyapa,
saat kau selai batang-batang lilin
di keremangan itu.
Saat itu, kini bersemayam
hanya dalam angan.
Tetapi, kini aku yang
hadir untukmu
dan bunga-bunga di pusara memohon restu
untuk aku terus melangkah bersama dua amanah
yang tersisa.
Way mengaku, 19 juni 2016
TITIP RINDU PADA SEKEPING NISAN
Pandangi lekat- lekat sudut mata mungil itu,
ada sebutir rindu terburai di sana,
bibir mungil tebar senyum kelu
tepis luka rindu kian menganga.
Tubuh nan ringkih melerai luka kalbu,
menahan rindu kian membatu.
Jiwa mungilnya berbisik,
adakah sama yang terasa?
rindu ayah, rindu separuh jiwa,
rindu sang lentera.
Pada bulir air mata, ku titip rindu melalui doa.
Pada untaian bunga, ku sampaikan kesah sedih mendera.
Pada sekeping nisan, ku titip rindu dan salam sayang
tuk ayah di surga.
Way Mengaku, 02 Juli 2016
KEMBALI PULANG
Bergetar bibir dalam gigil,
tak mampu berkata meski hanya berbisik lirih.
Gumpalan sesal, penuhi rongga
dada, kalimat ampunan merintih.
Begitu perih tiada tara,
detik-detik kepergian sukma
meniti jalan kembali pada Illahi Robbi.
Way Mengaku, 11 Oktober 2016
SENYUM LUFFY
Ceriamu menghilang di pagi yang cerah ini,
takkah terlihat mentari begitu anggun di ufuk timur,
kekicau kenari di ranting pepohon.
Maafkan ego yang menelan senyum
sedikit leyapkan masa kekanakmu.
Getir yang tak seharusnya ikut kau selam.
Luffy- Tersenyumlah!
Meski perpisahan ini menyita masamu,
teruslah melangkah, jejak ayah mengiringimu di kejauhan.
Luffy-
Mencoba bertahanpun ayah tak mampu,
kelak kau kan mengerti.
Tetaplah ceria meski lelaki ini tak di sampingmu.
Luffy- Tersenyumlah!
Selalu hiasi bibir mungil dengan celoteh,
bahagia ayah yang hanya bisa memandangmu dari jauh.
Teruslah bertahan putraku,
ayah selalu menjagamu.
Way Mengaku, 28 oktober 2016
WAJAH IBU
Ibu,
peluh aliri tubuhmu
tak dapat ku kuhitung
tetes mengalir di sudut matamu
tersirat gurat lelah sembunyi
senyum hias wajahmu.
ibu,
dentang waktu paksamu
tuk sembunyikan goresan luka
yang tertanam di relung jiwamu
bulir air mata kau lerai dengan cinta
demi senyum anakmu.
Ibu,
sesalku membuatmu terluka
naluriku ingin kan peluk dan ciummu
ingin ungkapkan maaf atas sesal
dan sentuh kakimu
namun malu dan egoku
kalahkan maaf yang tercekat
Ibu,
untaian doa
akan segala kebaikan dan kebahagiaanmu.
love you mom.
way mengaku, 14 Juni 2016
INGKAR
Janji begitu manis
terpatri di ujung lidahmu,
membelai lembut sang empunya paras,
terbenam dalam bual asmara.
Namun sekejap lupa,
bahkan kini tiada rupamu di ujung mata.
Celotehmu pun tak terdengar
di belakang telinga
hanya nyanyian burung
bergema tak tentu nyata.
Lelaki tak seharusnya begitu,
sebab wanita bukan janda tak berlaki
yang bisa dipermainkan bak boneka.
Way Mengaku, 29 Juni 2016
EKSPEDISI
Mengawal hujan,
jelajahi celah rimba, terjal pendakian di antara batu-batu cadas.
Roda bergulat di rintang tajam bebatu
Kuda besi nyaris tumbang semangat, dalam pekat.
Sejenak terhenti ekspedisi.
Terdiam, menunda lelah di gubuk,
dingin memeluk sunyi, senandung jangkrik malam menyapa.
Seketika raut cemas terlintas,
ketika sepasang senyum yang kutinggal di peraduan.
Bulir berlinang, tercampak menjelma biji hujan.
Aku ingin pulang.
Sedikit lupakan bahagia yang kujemput,
tetapi ada bahagia yang kutunda.
Way Mengaku, 07 oktober 2016
Tentang Penulis:
Yulyani Farida, lahir dan besar di Lambar, ia menekuni puisi di Sekolah menulis Komsas Simalaba. Komsas Simalaba adalah sebuah wadah berkesenian para pemuda di Kabupaten Lampung Barat yang sehari harinya berprofesi sebagai petani kopi. Terbentuknya Komunitas ini sekaligus menandai bangkaitnya sastra kaum petani yang cukup produktife menghasilkan karya. Yulyani F, Sejumlah karyanya telah dipublikasikan di media www.wartalambar.com dan saibumi.com juga tergabung dalam buku antologi EMBUN PAGI LERENG PESAGI (akan terbit awal 2017)
Dari redaksi:
Bagi anggota Komunitas Sastra Silaturahmi Masyarakat Lampung Barat, kirimkan naskah puisinya ke alamat e-mail: riduanhamsyah@gmail.com
Travel Lampung Jakarta, Diantar sampai Rumah Ongkos Murah Layanan Prima
Travel Jakarta Lampung PP Dapat Free Snack dan 1 Kali Makan
Travel Lampung Depok via Tol Tiap Berangkat Pagi dan Malam
Harga Travel Bekasi Lampung Antar Jemput Murah sampai Rumah
Travel Palembang Lampung Lewat Tol Hemat Cepat sampai Alamat
