RINDU YANG TAK MUNGKIN
Entah mengapa dada ini tiba tiba bergetar, saat kulihat senyum di fotomu.
Ada gelombang rindu yang menerpa hulu jantung, lalu rasa ini tinggal serpihan dan denyar nanar itu lumpuhkan imajiku.
Sobat –
entah kemana keluh ini kusandarkan?
Sedang dinding itu … telah menjadi puing.
Hari kian beranjak senja tinggalkan kenangan pagi, di saat kita merajut jaring-jaring asa tuk menangkap cinta yang terbang bersama sayap kebahagiaan.
Kini kau tinggalkan cerita bisu, dalam dekapan tanah merah berbatu nisan.
Lampung Barat, 19 November 2016.
AWAN HITAM
Hai angin.
Mengapa sepagi ini kau hadir membawa awan hitam pada langit.
Kau tutup mata dengan kilatan
halilintar, lalu kau pasung damai rindu dengan hujan buatanmu.
Kini teras-teras rumah, kau lumuri lumpur
dan kau pagari langkah-langkah ini
dengan tembok hutang yang kian melangit.
Akankah mata ini mampu, tuk melihat
kembali warna cerah yang pernah
hadir dalam mimpi, sedangkan awan hitam kian menutup kebenaran.
Lampung Barat, 16 November 2016.
SIAPA ENGKAU
Senyum manis beserta kekata indah
berhias di wajah baru yang kini hadir di depanku.
Siapakah engkau Tuan?
kau duduk di sampingku, lalu perlahan
kau sajikan racikan … yang sebelumnya
pernah kuminum.
Hemm!
sudahlah Tuan kini aku sudah dewasa,
dan mengerti akan ramuan!
Mungkin sebaiknya kau bersihkan dahulu
baju putih yang pernah ternodai,
karena kami mendambakan itu semua.
Lampung Barat, 17 November 2016.
SENYUM SALSABILLA
Indah pagi yang pernah menghampiri
menyarangkan cerita dan buaian cinta,
yang menuntunmu pada sisi jalan sunyi.
Dan kini sesekali badai bertikai,
menghujani seluk beluk hari, dalam hitam
bayangan yang selimuti batinmu.
Tetapinya Salsabilla.
Senyummu tetaplah merekah indah
‘tuk menyibak segala yang halangi langkah,
gigihmu meniti jejak jalan kembali.
Ada denyar ngilu, tentang rindu, yang
kau lipat di antara senyum, canda juga tawamu.
Sungguh!
kau tangguh selayak Kartini.
Lampung Utara, 20 November 2016.
Tentang penulis:Aan Hidayat adalah seorang wiraswasta meubel di pekon Gunung Sugih Liwa, pemuda yang gemar memancing ini juga aktif menuangkan kegelisahan hatinya ke dalam puisi, dan tergabung di dalam sekolah menulis sastra dunia maya, KOMSAS SIMALABA.
DARI REDAKSI
Kami memberikan ruang kepada siapapun untuk berkarya. Bagi kami, kesusastraan nasional itu sesungguhnya adalah sebuah keberagaman; mulai dari sastra kaum pemula, sastra kaum tepi, hingga sastra kaum yg telah memiliki label nasional alangkah indahnya bila kita sepakat untuk dilihat secara bersama sama dan miliki tempat serta ruang yang sama pula untuk dihargai sebagai bagian dari corak warna dalam keberagaman. Sebab kita semua memiliki hak untuk hidup serta menemukan bentuk. Silahkan kirim karya anda ke email: riduanhamsyah@gmail.con atau inbox akun fb Riduan Hamsyah.