Tanggamus, www.lampungmediaonline.com – Kehidupan nelayan tradisional disepanjang pesisir Teluk Semaka, Kabupaten Tanggamus, Lampung semakin memprihatinkan. Saat ini tidak hanya menghadapi tantangan dengan banyaknya kapal penangkap ikan berukuran besar dengan menggunakan peralatan yang canggih. Namun juga harus menghadapi kenyataan berkurangnya hasil tangkapan mereka. Imbasnya, perekonomian keluarga yang kian hari tak menentu.
“Kami memang harus berjuang, karena kondisi peralatan yang seadanya, sementara saat ini banyak perahu berukuran besar dari luar Kabupaten Tanggamus yang beroperasi,” ujar Bakri anukri (47), nelayan di TPI Kotaagung, Kabupaten Tanggamus.
Menurutnya, hampir 90 persen nelayan di TPI Kotaagung, merupakan buruh nelayan yang bekerja sebagai Pandega (anak buah kapal nelayan).
“Penghasilan kami memang pas-pasan. Melaut sehari hanya cukup untuk menghidupi kebutuhan satu hari kadang juga tidak cukup karena mahalnya kebutuhan saat ini,” kata warga Pekon Negri Ratu, Kecamatan Kotaagung ini.
Selain itu, nelayan juga harus berhadapan dengan kerasnya kehidupan di laut dengan cuaca yang tidak menentu yang jelas akan berpengaruh pada perekonomian keluarga. “Kalau sudah musim angin Tenggara, maka kami libur melaut. Sebab, kalau melaut juga percuma tidak akan dapat ikan. Ini bisa seminggu, bayangkan dalam seminggu kami nganggur, makanya punya apa saja dijual untuk makan,” kata Jasra, nelayan lainnya.
Menurut Jasra, saat ini setiap perahu nelayan hanya memiliki satu jenis alat tangkap ikan, sedangkan dalam setahun terdapat beberapa musim ikan. Dengan satu alat tangkap ikan yang dimiliki nelayan, otomatis tidak bisa digunakan menangkap ikan jenis lainnya.
Misalnya alat tangkap udang tidak bisa digunakan untuk alat tangkap ikan. Ini yang jadi kendala nelayan, terlebih saat ini harga alat tangkapan ikan sangat mahal dan nelayan tradisional tidak mampu membelinya. Keterpurukan nelayan ini, kata Samsul nelayan di Pekon Tegineneng, Kecamatan Limau terjadi akibat beberapa hal, diantaranya harga bahan bakar solar dan sembako mahal, juga tidak dimilikinya alat tangkap ikan lengkap.
“Alat tangkap yang kami punya sangat minim, selain itu perahunya juga kecil. Tidak bisa untuk mencari ikan di lautan dalam. Kalau mau beli, dapat duit darimana, wong untuk makan saja susah,” katanya.
Penelusuran Lampung Media, saat ini, alat tangkap ikan harganya naik berkisar Rp 110 ribu belum termasuk alat lainya seperti tambang dan timah, jadi total untuk satu alat tangkap sekitar Rp 250 ribu. Sedangkan, satu perahu membutuhkan 30-40 buah alat tangkap sejenis atau yang disebut ting-ting. Jika Rp 250 dikali 30 atau 40 buah alat tangkap yang dibutuhkan, yaitu sekitar Rp 7,5 hingga Rp 10 juta untuk satu perahu.
“Jadi, untuk beli bahan bakar solar saja sulit, apalagi beli alat tangkap ikan yang mahal,” kata Dedi, nelayan di Pekon Tanjung Agung, Kecamatan Kotaagung Barat.
Keluhan nelayan ini sudah bukan hal baru melainkan sering terdengar di tahun-tahun lalu. Meski pemerintah telah membantu mereka dengan infrastruktur bangunan TPI dan mesin perahu. Namun, harga bahan bakar dan sembako yang tinggi tetap saja tidak bisa menandingi biaya produksi. Artinya, pergi melaut dengan ongkos besar dan pulang dengan penghasilan minim, bahkan nelayan tidak cukup untuk bayar hutang ke warung nasi.(man)
Travel Lampung Jakarta, Diantar sampai Rumah Ongkos Murah Layanan Prima
Travel Jakarta Lampung PP Dapat Free Snack dan 1 Kali Makan
Travel Lampung Depok via Tol Tiap Berangkat Pagi dan Malam
Harga Travel Bekasi Lampung Antar Jemput Murah sampai Rumah
Travel Palembang Lampung Lewat Tol Hemat Cepat sampai Alamat