Oleh : Raavi Ramadhan
Kaum radikal melebarkan sayapnya dengan membuat gambar dan konten di media sosial. Ini hal yang harus kita waspadai, karena kadang ada yang tidak sadar bahwa itu cara mereka untuk merekrut anggota baru.
Kaum radikal memanfaatkan media sosial untuk mencari simpati dan mempengaruhi banyak orang agar membenci pemerintah.
Demam media sosial masih melanda Indonesia. Dulu ada Friendster, berlanjut dengan Facebook, Twitter, dan sekarang Instagram.
Media-media sosial ini dimanfaatkan orang untuk mencari teman di dunia maya, melalui smartphone. Kemudahan untuk mengakses media sosial ini juga dimanfaatkan kaum radikal. Mereka memanfaatkan netizen di Indonesia dan mencuci otak mereka secara halus.
Di Instagram, kaum radikal sibuk membuat konten yang sepintas bernapaskan agama dan kebaikan. Namun selanjutnya diteruskan dengan ajakan untuk membangun negara khilafiyah, mendukung pergerakan kaum radikal, sampai perekrutan anggota baru. Dengan memanfaatkan hashtag, ada banyak follower dan pendukung baru di akun media sosial mereka.
Mengapa pengaruh kaum radikal yang disalurkan melalui media sosial lebih jitu? Karena ketika seseorang mengakses gawai dan membuka sosmed, ia dalam keadaan rileks. Raa-rata memang netizen mencari hiburan di gadget-nya. Ketika ia menemukan akun dari kaum radikal dan otaknya sedang rileks, maka pikirannya lebih terbuka dan dengan mudah alam bawah sadarnya dipengaruhi oleh kaum radikal.
Kondisi ini tentu jadi sebuah peringatan keras, karena media sosial ada di dunia maya. Berbeda di dunia nyata, di sana tidak ada pos penjaga dan petugas yang patroli. Jadi mereka relatif lebih bebas untuk menebar ajarannya yang menyesatkan. Jika ada pemuda atau bahkan anak-anak yang jadi followernya, tentu akan sangat berbahaya. Karena otak mereka yang masih polos akan lebih mudah terpengaruh oleh bujuk rayu mereka.
Praktek ini bisa terjadi selama bertahun-tahun. Dunia maya bisa menjadi ajang kaum radikal untuk bergerilya mengajarkan ajakan untuk membentuk negara khilafiyah. Akun media sosial dari kaum radikal baru bisa ketahuan ketika ada yang memviralkannya lalu memperkarakannya dengan undang-undang ITE.
Rachmat Kriyantono, PhD, akademisi dari Universitas Brawijaya Malang, menyatakan bahwa ada beberapa cara untuk menangani ganasnya radikalisme di dunia maya. Yang pertama adalah perlu ditingkatkan pendidikan untuk bermedia sosial. Yang dimaksud dengan edukasi adalah dengan mengajari bagaimana bermedia sosial yang baik dan benar serta melihat apakah sebuah konten di sana itu baik atau malah membawa pengaruh buruk.
Cara selanjutnya untuk menangani radikalisme di dunia maya adalah dengan pemblokiran. Pihak kantor media sosial sudah seharusnya bekerja sama dan mau memblokir akun-akun bodong yang dikelola oleh kaum radikal. Agar tidak ada lagi korban berikutnya.
Lalu, diberikan kurikulum kepada murid-murid agar mereka belajar agama dan dihubungkan dengan pancasila. Jadi di pelajaran agama tidak hanya diajari untuk berhubungan dengan Tuhan, tapi juga dengan sesama manusia.
Dengan cara-cara ini, maka bisa meminimalisir pengaruh kaum radikal di media sosial.
Karena akun mereka diblokir atas permintaan pemerintah dan berkat laporan netizen yang teliti terhadap pergerakan separatis. Untuk mengatasi radikalisme di dunia maya, juga bisa membuat banyak konten yang berisi tentang nasionalisme, kebangsaan, dan cinta tanah air. Jadi netizen akan lebih mencintai negaranya dan tidak mau dibujuk jadi anggota kaum radikal.
Kaum radikal yang beraksi di media sosial sangat meresahkan. Mereka memanfaatkan jejaring di sana untuk mendapat simpatisan dan anggota baru.
Waspadalah dan jangan melepaskan anak-anak untuk mengakses gawai sendiri, sesekali periksalah akun media sosial mereka. Tujuannya agar mereka bebas dari pengaruh kaum radikal. Jika ada akun yang mencurigakan dan bisa jadi itu milik kaum radikal, maka bisa dilaporkan beramai-ramai agar akunnya ditutup.
Penulis adalah mahasiswa Universitas Pakuan Bogor