Oleh : Zakaria
Ketika pemerintah tengah fokus dalam menangani kasus covid-19, kelompok radikal secara senyap justru aktif dalam melakukan perekrutan anggota. Meski demikian aktifitas mereka berhasil tercium oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), upaya mereka untuk merekrut lebih banyak-pun bisa dicegah.
Kepala BNPT Komisaris Jenderal Boy Rafli Amar mengatakan, kelompok radikal masih aktif melaksanakan aksinya melalui propaganda perekrutan, baik secara online ataupun offline selama masa pandemi covid-19.
Boy juga memastikan bahwa pihaknya akan terus memerangi gerak para teroris. BNPT akan tetap melakukan kontraradikalisme dan tetap melawan informasi yang bertentangan dengan nilau dasar falsafah Pancasila.
Boy menyebutkan bahwa dalam rentang waktu Januari hingga Juni 2020, tercatat sebanyak 84 orang dari jaringan teroris sudah ditetapkan sebagai tersangka. Mayoritas dari mereka yang ditetapkan sebagai tersangka tersebut rupanya telah merencanakan sejumlah aksi terorisme namun berhasil digagalkan.
Ia juga menghimbau kepada masyarakat agar tetap waspada terhadap kelompok radikal, karena saat ini kelompok radikal semakin cerdas. Para pelaku teror kini bisa melakukan kamuflase cara berpakaian dan berpenampilan. Sehingga tidak ada jaminan bahwa penampilan dan cara berpakaian tertentu, identik dengan radikalisme.
Boy menjelaskan, dalam melakukan aksi perekrutan, kelompok radikal biasanya memiliki daftar target calon-calon korban. Target tersebut umumnya adalah anak-anak muda. Hal tersebut dilakukan sebab anak-anak muda dianggap berada dalam usia pencarian jatidiri sehingga mudah dipengaruhi.
Anak muda memang menjadi obyek yang sangat mudah terpapar paham radikal, karena anak sangat mudah menyerap doktrin. Selain itu, anak cenderung lebih loyal dari orang dewasa sehingga mudah untuk menjadi radikal.
Tentu saja hal tersebut sangat dimungkinkan bahwa target tidak menyadari atas konten atau pesan yang mereka sampaikan.
Oleh karena itu, Boy mengajak kepada para orang tua agar senantiasa memperketat pengawasan pergaulan anak-anaknya. Terutama ketika mereka kerap ikut-ikutan pertemuan dengan orang yang tidak dikenalnya.
Tentu saja tidak ada alasan bagi orang tua untuk gaptek terhadap aktifitas medsos yang digemari anak muda.
Sebelumnya, Mantan Kepala Perakitan Bom Jamaah Islamiyah (JI) Jawa Timur, Ali Fauzi mengungkapkan, masyarakat akan sangat sulit mendeteksi keberadaan kelompok radikal di sekitar tempat tinggalnya. Hal ini dikarenakan, kelompok teroris tersebut menerapkan kamuflase untuk membaur dengan masyarakat.
Mantan teroris Bom Bali 1 tersebut menuturkan bahwa anggota kelompok radikal ini akan berperan seperti masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya. Hal ini yang menjadi kesulitan membedakan mereka dengan orang biasa.
Mereka yang berpaham radikal bisa saja akan menyerupai masyarakat yang ada di sekitarnya. Jika masyarakat di sekitarnya banyak yang berprofesi sebagai pegawai maka ia akan menjadi pegawai, jika masyarakat di sekitarnya banyak yang berdagang maka dia juga akan menjadi pedagang.
Dengan kata lain, orang-orang yang terpapar radikalisme ini tidak segan untuk menyamar sebagai figur yang mereka anggap kafir atau bertentangan dengan faham mereka. Hal tersebut dilakukan semata-mata untuk menjaga jati dirinya tidak terbongkar.
Selain untuk menyamarkan identitas, kamuflase juga bertujuan untuk mempermudah kelompok radikal dalam menentukan target perekrutan anggota.
Pengamat terorisme dari Institute Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi mengatakan selama ini aparat kepolisian belum cukup kuat dalam hal kontra narasi, agitasi hingga propaganda-propaganda agar masyarakat tidak ingin bergabung dengan kelompok radikal.
Ia berpendapat, bahwa BNPT semestinya bisa berkolaborasi dan bekerjasama dengan para ahli guna menyebarkan kontra narasi maupun propaganda untuk mencegah perekrutan kelompok radikal baik secara online maupun offline.
Tidak dipungkiri layanan internet baik Media Sosial ataupun website telah menjadi salah satu alat penyebaran paham radikal yang sangat luar biasa. Anak muda ketika mendapat informasi radikal biasanya akan merasa penasaran dan jarang memiliki rasa takut. Rasa penasaran inilah yang dimanfaatkan oleh kelompok radikal untuk menggiring mereka dalam mengakses informasi yang sudah dirancang melalui medsos.
Oleh karena itu, optimalisasi narasi kontra radikal haruslah diperkuat, apalagi siapapun bisa membuat akun sosial media, dan siapapun bisa membuat blog untuk menuliskan beragam narasi.
Penulis adalah warganet tinggal di Bogor