Oleh : Dodik PRasetyo
Kita sudah berada di masa pandemi selama lebih dari 6 bulan dan sampai saat ini sekolah masih ditutup untuk sementara. Murid-murid belajar di rumah, karena di sekolah sangat rentan jadi tempat penularan corona.
Namun tidak semua menaati protokol kesehatan, karena ada sekolah yang nekat dibuka lagi.
Banyak orang sudah lelah menghadapi berbagai tantangan saat pandemi. Memang kita jadi terbiasa untuk memakai masker, tapi ada hal lain yang juga berubah dalam kehidupan.
Anak-anak bersekolah online di rumah dan pembelajaran dilakukan via Zoom. PR dikirim lewat WA dan ulangan diadakan dengan mengisi Google docs.
Keputusan pemerintah untuk menutup sekolah muncul karena di sana rawan penularan corona. Apalagi anak TK dan SD, lebih rentan terkena virus covid-19. Mereka juga cenderung lebih susah disiplin dan khawatir akan bermain bersama dan lupa menjaga jarak. Juga saling menukar masker atau faceshield, padahal berbahaya karena bisa menempelkan droplet.
Belajar dari rumah memang membutuhkan kesabaran bagi orang tua yang mengajarkan materinya. Namun keputusan untuk ‘mengurung’ anak di rumah saja sangat penting, karena saat ini virus covid-19 bisa menular di luar sana. Jika seseorang ada di tempat yang udaranya kotor dan pengap. Ini menurut penelitian dari WHO.
Jika anak sedang school from home dan dikarantina untuk sementara, juga membutuhkan biaya lebih untuk membeli pulsa atau langganan wifi. Pengeluaran orang tua jadi bertambah. Pemerintah mengetahui kegalauan mereka dan memberi subsidi berupa kuota sebanyak 35 GB per bulan. Kuota internet itu bisa untuk mengakses situs pembelajaran atau Google Classroom.
Jika ada warga yang berada di daerah yang susah sinyal, maka mereka bisa belajar melalui program edukasi TVRI yang tayang setiap pagi. Ada juga sekolah yang memberi tugas kepada murid dan dikumpulkan langsung ke guru, seminggu sekali. Jadi tidak ada alasan untuk tidak belajar walau dalam masa pandemi.
Namun walau sudah ada subsidi kuota dan penutupan sekolah, tetap ada saja oknum yang bandel. Di beberapa tempat ada sekolah yang mulai dibuka kembali dan sayangnya tidak mematuhi protokol kesehatan. Walau para murid mengenakan masker, tapi tidak menjaga jarak. Apalagi di sekolah yang tiap kelas berisi hampir 40 murid, mereka langsung duduk berdempetan.
Di tempat lain, ada orang tua yang stres karena kesulitan mengajari anaknya. Lalu memasukkan mereka ke lembaga bimbingan belajar. Memang di sana ada tentor yang lebih berpengalaman mengajar. Namun pastikan d tempat kursus juga memenuhi protokol kesehatan. Jika muridnya duduk berdempetan, maka sama saja, tidak disiplin dan rawan penularan corona.
Memang jadi sebuah dilema ketika seorang ibu rumah tangga harus berperan ganda jadi guru bagi anak-anaknya. Mereka harus belajar lagi dan melihat kurikulum sekarang lebih sulit daripada 10 tahun lalu. Namun yakinlah bahwa ketika anak belajar di rumah, mereka akan lebih selamat daripada saat bersekolah. Apalagi jika bermukim di daerah zona merah.
Lebih baik pusing dan belajar lagi demi mendampingi anak-anak di rumah. daripada membiarkan mereka terpapar corona. Jangan pula melepas anak untuk sembarangan bermain di lapangan atau jalan, tanpa perlindungan dari masker dan face shield. Ajarkan mereka protokol kesehatan dan bahaya virus covid-19 sedini mungkin.
Sabarlah dan tunggu vaksin covid-19 resmi di-launching ke publik. Ketika semua orang sudah diimunisasi dan jumlah orang yang sakit corona menurun, kita optimis pandemi akan segera berakhir. Kehidupan jadi normal dan anak-anak bisa kembali belajar di sekolah seperti biasa.
Penulis adalah kontributor Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia (LSISI)