Oleh : Ihza Mahendra (Mahasiswa kedinasan Politeknik Statistika STIS)
Apa yang anda pikirkan saat mendengar kata lada? Apakah rasanya yang menyedapkan makanan, apakah terpikir tentang kehebatan lada yang menjadi bahan rebutan pada masa kolonial? Lada sudah menjadi bahan makanan yang sudah tidak asing lagi dipakai. Mempunyai julukan sebagai rajanya rempah, rasa yang sedap nan menghangatkan, sampai-sampai negara Eropa rela melancong jauh hingga ke Indonesia untuk mecari rempah-rempah tersebut. Dahulu lada Indonesia bagaikan emas di negri Eropa, menjadi bahan rebutan semua negara. Dari masa kolonial hingga sekarang, lada Indonesia masih banyak diminati dan disenangi. Bahkan, bangsa indonesia pernah menjadi negara dengan eksportir lada terbesar didunia. Namun, posisi tersebut sekarang dipegang oleh Negara Vietnam.
Negera komunis ini mulai mengembangkan lada secara intensif. Semenjak Vietnam gencar mengembangkan lada, posisi ekspor lada Indonesia di pasar dunia menjadi turun. Penurunan ini tentu karena melemahnya daya saing akibat rendahnya produktivitas dan mutu lada lokal. Jenis lada yang terkenal dari Indonesia adalah lada hitam dan lada putih, dimana lada putih memiliki harga jual yang lebih tinggi dari pada harga jual lada hitam.
Membicarakan tentang lada hitam, sekilas yang terbesit dipikiran kita adalah Provinsi lampung. Provinsi lampung terkenal akan produsen utama lada hitam di Indonesia. Lampung adalah provinsi yang menyumbang produksi lada nomor dua terbesar di Indonesia setelah Provinsi Bangka Belitung dengan angka produksi 13.727 ton pada tahun 2019. Provinsi Lampung terkenal akan komoditas lada hitamnya, sedangkan Provinsi Bangka Belitung terkenal dengan komoditas lada putihnya. Komoditas lada hitam Provinsi lampung sendiri bahkan sudah digemari dan dikenal oleh negara luar sejak masa sebelum perang dunia II. Provinsi Lampung sudah berkenalan lama dengan komoditas yg satu ini.
Dari masa kolonial hingga sekarang , lada hitam sudah memberikan banyak perubahan terhadap perkembangan perekonimian Provinsi Lampung. Namun, seiring dengan berjalanya waktu kejayaan lada lampung tidak lah semegah dulu. Kian hari perkembangan lada lampung mengalai penurunan yang di sebabkan oleh berbagai faktor yang ada.
Berdasarkan data dari Direktorat Jendral Perkebunan, luas areal perkebunan lada di Provinsi Lampung selama 5 tahun terakhir (2015-2019) sebagian besar mengalami penurunan. Dari luas sebelumnya sebesar 45.863 Ha pada tahun 2015, terus turun hingga mencapai angka 45.322 Ha pada tahun 2019. Pertumbuhan luas areal lahannya pun secara rata-rata mengalami pertumbuhan yang negatif sebesar -0,29% per tahun. Kemudian, untuk data produksi lada hitam di Provinsi Lampung juga mengalami tren yg negatif. Selama 5 tahun terakhir, sebagian besar produksi lada mengalami penurunan. Berdasarkan data pada tahun 2015, Produksi lada Lampung sebesar 14.860 ton dan terus turun hingga mencapai 13.727 ton di tahun 2019. Selama 5 tahun terakhir, secara rata-rata pertumbuhan produksi lada hitam berada di angka negatif, yaitu -1,87 % per tahun. Untuk produktivitas nya juga mengalami penurunan dari yg sebelumnya 494 kg/ha pada tahun 2015, terus turun menjadi 447 kg/ha ditahun 2019. Tentu saja adanya penurunan luas areal lahan, produksi, dan produtivitas bukan merupakan suatu kabar baik bagi Provinsi Lampung yang pernah berjaya dalam memproduksi lada.
Ada banyak faktor yg menyebabkan produksi lada Lampung turun seperti kurangnya inovasi teknologi, kurangnya kelembagaan kelompok tani, dan kurangnya peran penyuluh pertanian. Inovasi teknologi bisa dimulai dari penyediaan bibit unggul sampai dengan cara pengolahan hasil atau pascapanen. Kondisi yang terjadi saat ini para petani menggunakan bibit asalan dan tidak bersertifikat. Ketersediaan adanya bibit unggul dan bersertifikat menjadi kendala sendiri bagi petani. Kementerian Pertanian telah melakukan upaya penyediaan bibit unggul perkebunan khususnya lada dengan menyediakan kebun induk di provinsi penghasil lada, yaitu Provinsi Lampung. Selain bibit unggul, adanya serangan hama penyakit dan pengolahan hasil panen yg kurang juga menjadi faktor penentu rendahnya produktivitas lada. Para petani kurang memiliki pengetahuan dan informasi terkait bagaimana cara menanggulangi serangan hama dan penyakit. Hal ini disebabkan karena penyuluhan tentang budi daya lada yang benar belum dilakukan secara intensif. Upaya yang perlu dilakukan pemerintah sendiri adalah mengintensifkan penyuluhan berbasis komoditas perkebunan khususnya lada.
Selain peran penyuluhan, yang tidak kalah penting adalah peran kelembagaan kelompok tani. Peran adanya kelompok tani belum difungsikan secara optimal. Seharusnya kelompok tani menjadi sarana untuk mengakses informasi berupa informasi teknologi, harga, dan sarana-prasarana. Perlu ada pelatihan yg intensif bagi pengurus kelompok tani atau pendampingan kelompok tani oleh penyuluh di wilayah setempat. Selain permasalahan produktivitas lada yang rendah, harga jual juga menjadi salah satu faktor penentu keputusan petani untuk merawat tanaman ladanya atau membiarkan tanaman ladanya terbengkalai. Harga jual lada yang berfluktuasi bahkan cenderung menurun membuat para petani tidak bergairah untuk melakukan perawatan tanamannya secara intensif.
Padahal, perawatan atau pengelolaan tanaman lada secara intensif berpengaruh terhadap produksi yang dihasilkan. Untuk harga jualnya saja pada tahun 2019 menyentuh angka Rp25 ribu—Rp30 ribu per kg. Harga tersebut lebih rendah dari pada tahun-tahun sebelumnya yang harga jualnya pernah mencapai diatas Rp 100 ribu per kg. Harga jual yang terus anjlok ini ibarat memberikan efek domino terhadap ketersediaan lada Lampung.
Diperkirakan karena produksi yang berlebihan di pasar dunia, sedangkan tingkat permintaan tidak meningkat secara signifikan menjadi penyebab harga terus turun dari tahun ke tahun. Produksi dunia yang melimpah dan berlebihan ini diduga karena produksi Vietnam yang meningkat tajam dalam beberapa tahun terakhir sehingga menyebabkan oversupply (Deny W Kurnia). Menurut Denny, salah satu upaya untuk mengatasi anjloknya harga jual lada adalah membangun sistem resi gudang. Para petani menyimpan hasil panennya ketika harga anjlok dan menjualnya ketika harga naik. Tentunya dari semua usaha untuk menanggulangi redupnya produksi lada, agar semua usaha terlaksana perlu adanya dukungan dari semua pihak yang harus saling bersinergi untuk membangkitkan kejayaan lada Lampung seperti masa silam.