Oleh : Abdul Rasyid
Pembentukan KAMI oleh Din Syamsudin cs disambut dingin oleh masyarakat. Mereka merasa KAMI adalah kumpulan tokoh yang hanya bisa berkoar-koar tapi tidak mampu memberi sumbangsih kepada rakyat Indonesia.
Jika KAMI ingin mengakar di masyarakat, mereka seharusnya aktif berdonasi atau membuat program pengentasan kemiskinan.
Publik terkejut oleh deklarasi KAMI 18 agustus lalu.
Apalagi di acara itu berkumpul banyak sekali tokoh nasional. Mulai dari mantan pejabat, purnawirawan, ekonom, sampai anak mantan pejabat. Kepintaran dari tokoh-tokoh itu sayangnya tidak digunakan untuk membantu masyarakat. Namun dikumpulkan untuk mendesak pemerintah dengan 8 tuntutan.
KAMI menuduh pemerintah tidak bisa mengendalikan negara ke arah yang benar, maka harus diberi tuntutan. Menurut pengamat komunikasi politik Emrus Sihombing, tuntutan KAMI sangat abstrak dan masih mengawang. Mereka tidak punya kekuatan untuk mendesak 8 tuntutan itu ke pemerintah. Karena faktanya mereka bukan anggota MPR atau pejabat berwenang.
Tuntutan KAMI juga sama sekali tidak mengakar di masyarakat, karena dibuat tanpa survey dan tak berdasarkan kenyataan di lapangan.
Malah 8 tuntutan itu bisa jadi fitnah dan dianggap hanya hoax oleh banyak orang. Mereka merasa selama ini pemerintah sudah cukup baik dalam mengatur Indonesia walau kita diuji dengan pandemi covid-19.
Kita lihat ke tuntutan pertama. KAMI mendesak untuk menegakkan pengelolaan negara sesuai pembukaan UUD 45.
Pembukaan UUD sangat panjang dan diakhiri dengan perwujudan keadilan sosial bagi rakyat Indonesia. KAMI menuduh tak ada keadilan sosial. Padahal pemerintah sudah membangun infrastruktur dari wilayah barat hingga pelosok timur Papua.
Di tuntutan kedua, KAMI juga menuntut agar pandemi covid-19 diurus oleh pemerintah.
Tuntutan ini spontan ditertawakan banyak orang. Karena mereka merasa pemerintah sudah banyak berusaha dengan mendukung penelitian vaksin corona. Biaya pengobatan pasien covid-19 juga digratiskan. Masyarakat tak takut lagi beraktivitas asal mematuh protokol kesehatan.
KAMI juga menuntut pemerintah untuk mengatasi resesi. Masyarakat merasa heran karena kenyataannya di Indonesia tidak ada yang namanya resesi atau pengulangan krisis moneter seperti saat 1998 lalu. Memang sektor ekonomi agak menurun. Namun dunia usaha masih tetap bertahan. Banyak orang yang malah kelebihan uang dan tetap makmur walau didera badai corona.
Pada tuntutan selanjutnya, pemerintah disuruh bertanggung jawab memperbaiki praktik pembentukan hukum yang menyimpang, dari UUD 1945 dan pancasila. Masyarakat sudah merasa hukum di Indonesia berjalan dengan baik. Banyak koruptor yang ditangkap dan penegakan hukum juga lancar. Hukum tak lagi tajam ke bawah tapi tumpul ke atas.
KAMI juga menuntut pemerintah menghentikan KKN. Banyak orang yang heran dengan tuntutan ini. Karena di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, KKN sudah dihapuskan. Koruptor dihukum berat, bahkan diisolasi di Penjara Nusakambangan. Nepotisme tidak ada, bahkan putri Jokowi saat tes PNS ternyata tidak diterima dan ia tidak menuntut agar diloloskan.
Para anggota KAMI juga menyorot tentang kebangkitan komunisme. Masyarakat sudah cukup paham tentang kekejaman PKI. Jadi ketika ada yang memprovokasi dan mengajak ke sayap kiri, akan menghindar. Konten berbau komunisme juga dilaporkan ke polisi cyber.
Salah besar jika pemerintah yang sekarang mendukung bangkitnya PKI dan komunisme.
Begitu juga dengan pancasila. KAMI menuntut pemerintah agar mengusut tentang kasus oknum yang ingin mengubah pancasila.
Sebagai dasar negara, presiden tentu menolak jika ada yang ingin mengubah sebagian atau keseluruhan dari pancasila. Masyarakat juga tahu bahwa pancasila tidak bisa diganggu gugat.
Dalam 8 tuntutan KAMI, tidak ada yang berdasar fakta. Jadi masyarakat sering heran karena mereka hanya menyalahkan pemerintah dan memiliki modus menyelamatkan Indonesia. Padahal masyarakat butuh tindakan nyata seperti pembukaan lapangan kerja, daripada bualan, maklumat, dan tuntutan yang jauh sekali dari kenyataan.
Penulis adalah kontributor Gerakan Mahasiswa Jakarta