Oleh : Tengku Abdurahman
Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) mendapat sorotan tajam masyarakat. Deklarasinya yang dilakukan di tengah pandemi Covid-19 dianggap tidak proporsional dan hanya ingin menambah beban rakyat yang terdampak Covid-19.
Keberadaan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia ‘KAMI’ rupanya tidak mendapatkan atensi publik secara maksimal, keberadaan mereka justru ditolak oleh kelompok yang mengatasnamakan diri Kesatuan Aksi Milenial Indonesia (KAMI) yang menyatakan penolakan terhadap Deklarasi yang dilakukan.
Dalam aksinya, mereka menyatakan penolakan terhadap deklarasi tersebut karena menurut mereka, deklarasi KAMI hanya untuk memprovokasi masyarakat dan memecah belah bangsa untuk membenci pemerintah.
Mereka juga menilai bahwa kegiatan deklarasi tersebut cenderung tidak mengindahkan physical distancing sebagai wujud upaya pemerintah dalam memutus mata rantai penyebaran Covid-19.
Sementara itu, Deputi VII Badan Intelijen (BIN) Wawan Hari Purwanto menyatakan bahwa sebagai warga negara sudah seharusnya membela tanah airnya dengan segenap jiwa dan raganya. Karena itu, segala jenis ancaman yang dapat membahayakan kesatuan dan keutuhan NKRI wajib untuk diantisipasi oleh siapapun terlepas dari profesinya.
Keselamatan rakyat Indonesia dan seluruh potensi sumber daya alam yang terkandung di dalamnya mutlak untuk dilindungi. Karena sudah menjadi kewajiban kita untuk melindungi segenap tumpah darah, kita harus sadari bahwa seluruh ancaman perlu diantisipasi supaya kita bisa lepas baik dari ancaman, baik yang berasal dari dalam atau luar negeri.
Wawan juga merespon munculnya KAMI, di mata BIN ancaman yang nyata dan yang dianggap saat ini serius adalah pandemi covid-19, bukan yang lainnya. Karena itu semua pihak haruslah bersama-sama untuk menjaga keselamatannya masing-masing sehingga secara kolektif bisa menyelamatkan Indonesia dari dampak buruk akibat pandemi.
Sementara itu, Ahli Hukum Indonessia Muhammad Kapitra Ampera, menilai bahwa pembentukan KAMI sarat akan kepentingan politis.
Tuntutan dan juga aksi yang akan dilakukannya juga dianggap tidak jelas karena saat ini Indonesia secara pemerintahan cukup baik. Dirinya juga melihat adanya perbaikan ekonomi yang ambruk akibat pandemi covid-19 masih lebih baik dibandingkan negara lainnya.
Aktivis politik Ferdinan Hutahaean juga mengecam langkah beberapa orang yang tergabung dalam KAMI yang menggelar deklarasi di tugu proklamasi tersebut.
Menurutnya, gerakan itu tidak mewakili suara rakyat.
Ia menuturkan, gerakan yang dilakukan oleh KAMI hanyalah gerakan suara saja yang tidak akan menjadi gerakan nyata di lapangan, apalagi menjadi gerakan rakyat.
Pendapat yang dikatakan Ferdinand tentu bukan tanpa alasan. Karena gerakan KAMI tidak berasal dari keresahan rakyat. Kemudian tokoh yang tergabung dalam koalisi tersebtu tidak mendapatkan kepercayaan publik, karena itu gerakan KAMI dinilial bukan mewakili suara rakyat.
Selain itu, dirinya menilai bahwa deklarasi tersebut hanya pengulangan dari gerakan-gerakan sejenis yang sudah pernah terselenggara sebelumnya.
Seperti gerakan untuk mengembalikan Indonesia kepada Undang Undang Dasar 1945 yang asli. Namun, gerakan tersebut berujung pada persoalan hukum.
Pengamat komunikasi politik Ari Junaedi mempertanyakan apa yang dilakukan oleh Rocky Gerung Cs tersebut dalam deklarasinya. Ia mempertanyakan apa urgensi mendesak atas dilaksanakannya deklarasi KAMI dengan kondisi bangsa yang tengah melawan pandemi covid-19. Dirinya menilai justru lebih baik jika energi para deklarator KAMI digunakan untuk aksi nyata kemanusiaan.
Staf Pengajar di Universitas Indonesia (UI) ini merasa khawatir, keberadaan KAMI hanya akan berujung pada pemenuhan aspirasi kelompok orang yang kecewa terhadap pemerintahan Joko Widodo.
Direktur Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) Boni Hargens menilai bahwa sejumlah tokoh pendukung KAMI berasal dari kelompok ideologis yang pada Pilkada 2017 ataupun Pemilu 2019 memainkan politik identitas.
Peraih gelar doktor filsafat dari Walden University, Minneapolis, Amerika Serikat tersebut menegaskan, kalau KAMI juga terlibat dalam mengamplifikasi politik identitas, gerakan tersebut berpotensi menjadi ancaman bagi ketahanan ideologi dan demokrasi Pancasila.
Menurut Boni, koalisi tersebut juga bisa menjadi masalah tersendiri jika ternyata ikut bermain dalam kampanye Pilkada Serentak 2020. Dimana propaganda antipemerintah akan terus menjadi narasi politik yang dominan baik di tingkat lokal maupun nasional.
Boni juga berpendapat bahwa apa yang dilakukan oleh KAMI di Tugu Proklamasi, tak lebih dari sekadar oposisi jalanan. Seperti isu yang diusung dimana merupakan isu lama dan tidak ada yang baru.
Keberadaan KAMI rupanya masih dipertanyakan dan belum bisa diterima oleh banyak orang, apalagi tujuan dari deklarasi yang pernah dilakukan 18 Agustus lalu, tidak jelas apa urgensinya.
Penulis aktif Dalam Lingkar Pers dan Mahasiswa Cikini