Jakarta, www.lampungmediaonline.com – Peringatan Hari Satwa Sedunia pada 4 Oktober menyisakan catatan kritis tentang perlindungan gajah yang semakin rentan keberadaannya karena perburuan liar di dalam kawasan konservasi.
Taman Nasional Way Kambas (TNWK) di Provinsi Lampung, salah satu rumah bagi fauna yang terancam punah (critically endangered) itu, mencatat berdasarkan hasil survei DNA populasi gajah pada tahun 2010 yang dilakukan Wildlife Conservation Society (WCS) secara keseluruhan terdapat 247 ekor gajah di tahun tersebut, namun pada pendataan tahun 2020 hasil dengan dari metode GPS collar yaitu pemantauan Elephant Response Unit (ERU) TNWK dari kelompok gajah yang ada mencatat hanya 180 ekor yang ada dan 67 ekor gajah tidak terpantau metode GPS collar.
Pada tahun 2020, Balai TNWK mencatat dalam kurun waktu 10 tahun terakhir adanya kematian 22 ekor gajah akibat perburuan liar, karena mereka mati tanpa gading dan gigi. Bahkan, kontak senjata masih terjadi antara polisi hutan dan pelaku perburuan liar. Sejumlah barang bukti seringkali ditemukan seperti 741 jerat seling, 34 sepeda ontel, 4 perahu dayung, tulang kepala gajah, tulang dan pinggul.
Kepala Balai TNWK Kuswandono mengatakan dari hasil evaluasi dengan aplikasi SMART RBM semester 1 tahun 2021 ditemukan jenis alat perburuan 1 jaring kabut, 7 jerat nilon, 16 jerat jerat seling, 40 jerat selling kecil, 2 perangkap kandang, 3 stick dan 13 tanda perburuan lainnya.
”Temuan yang kami dapat menandakan bahwa perburuan liar di kawasan TN Way Kambas harus dihentikan karena mengancam populasi satwa liar dan tentunya akan berpengaruh terhadap keseimbangan ekosistem hutan hingga ekosistem bumi secara jangka panjang,” tegasnya.
“Konsep perlindungan penyangga kehidupan merupakan hal yang sangat penting. Tidak hanya perlindungan bagi satwa yang ada di area konservasi, tetapi juga melindungi ekosistemnya. Salah satu dari kegiatan konservasi adalah melakukan restorasi hutan, agar keseimbangan ekosistem di kawasan konservasi ini bisa tercapai,” kata Kuswandono.
“Di tengah upaya pelestarian gajah dan melawan aksi perburuan liar, kegiatan restorasi hutan juga harus terus dilakukan. Kita sebagai manusia perlu melakukan introspeksi dan meningkatkan kesadaran akan masalah ini,” katanya.
Berdasarkan Undang-Undang (UU) No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, juga bagian lampiran dari Peraturan Pemerintah (PP) No.7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, gajah Sumatra atau Elephas maximus sumatranus termasuk ke dalam daftar jenis satwa yang harus dilindungi.
Dedi Istnandar, Staf Fungsional Pengendali Ekosistem Hutan (PEH), mengatakan bahwa gajah merupakan satwa yang hidup secara berkelompok pemakan tumbuhan (herbivor) memiliki banyak manfaat bagi kehidupan.
“Area jelajahnya luas untuk pencarian makanan, secara tidak langsung membantu penyebaran biji tumbuhan sebagai bibit pohon baru pada kawasan hutan yang dilewatinya. Selain itu, kotoran gajah juga bermanfaat sebagai pupuk yang menyuburkan area hutan. Gajah juga mengonsumsi makanan dalam jumlah besar, sehingga mengatur keseimbangan ekosistem hutan. Tubuhnya yang besar juga bermanfaat sebagai pembuka jalan bagi satwa lain dalam menjelajah hutan dan mencari makanan,” kata Dedi.
Sebagai upaya pengawasan dan pencegahan perburuan liar, Kuswandono menginformasikan bahwa TNWK telah bekerja sama dengan beberapa pihak, seperti Perguruan Tinggi, Pemerintah Daerah, Penegak Hukum dan masyarakat sekitar kawasan serta beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
“Pelaku perburuan liar ini kerap dengan sengaja memicu kebakaran hutan yang memudahkan mereka melakukan perburuan. Sedangkan untuk pelestarian kawasan hutan, kami bekerjasama dengan kelompok komunitas atau mitra lingkungan, seperti Yayasan Auriga Nusantara dalam upaya restorasi hutan yang sudah mulai dilakukan sejak tahun 2013,” kata Kuswandono.
Auriga merupakan salah satu LSM lingkungan yang bekerja sama dengan Balai TNWK dalam melakukan rehabilitasi hutan (pemulihan ekosistem).
“Hamparan ilalang pasca-kebakaran hebat pada dekade 90-an diupayakan pulih kembali menjadi hutan, termasuk sebagai habitat gajah. Kami mengapresiasi Balai TNWK yang membuka ruang kerja sama dengan Auriga Nusantara memulihkan habitat tersebut, baik ketika kami bersama konsorsium pada 2013-2017 seluas 100 hektare, maupun spesifik dengan Auriga hingga 2023 untuk luasan 1.200 hektare,” ungkap Timer Manurung, Ketua Yayasan Auriga Indonesia.
“Dari luasan total TNWK sebesar 125.000 hektare, terdapat sekitar 17.000 hektare kawasan TNWK yang perlu direhabilitasi. Ini kami bagi ke dalam tiga jenis metode upaya rehabilitasi atau pemulihan ekosistem, yakni pemulihan ekosistem alami, pemulihan ekosistem yang menggunakan anggaran negara dan pemulihan ekosistem bekerja sama dengan mitra, di mana Auriga termasuk di dalamnya,” kata Kuswandono.
“Dari 1.200 hektare area restorasi, Auriga menargetkan membangun pembibitan dan melakukan penanaman seluas 600 hektare di kawasan Rawa Kadut hingga tahun 2023. Selain itu, kami membuat sekat bakar untuk mengendalikan kebakaran dan menghambat kebakaran agar tidak meluas. Kami juga melakukan perawatan pada area permudaan alami (suksesi),” terang Supin, Direktur Kehutanan Auriga.
Sejumlah manfaat utama dari kegiatan restorasi hutan adalah:
Mencegah Kebakaran Hutan
Salah satu kawasan yang rawan terhadap kebakaran hutan di TNWK adalah kawasan Rawa Kadut. Kawasan ini merupakan area padang rumput dengan intensitas kebakaran sangat tinggi, sehingga perlu dikelola dengan baik agar tidak memicu kebakaran hutan. Caranya dengan membangun sekat bakar, membuat jalur pemisah antara kawasan yang rawan terbakar dan kawasan restorasi, serta membersihkan jalur ini dari ilalang.
Setelah mencermati upaya rehabilitasi sebelumnya, Timer membenarkan bahwa kebakaran merupakan hambatan utama restorasi di TNWK. Pelaku perburuan liar sering kali dengan sengaja memicu kebakaran hutan agar tumbuh ilalang muda. Satwa-satwa yang kemudian berkumpul di area ilalang muda dapat memudahkan mereka dalam melakukan perburuan.
“Hal paling utama yang kami lakukan adalah pengendalian kebakaran di area restorasi. Sekat-sekat bakar pun dibuat dan personel hadir di lapangan terus-menerus. Belakangan, keberadaan personel di lapangan ini ternyata menjadi salah satu cara mendeteksi kehadiran api yang bahkan jauh dari area restorasi,” ucap Timer.
Menghambat Perburuan Liar
Basuki, Koordinator Proyek Restorasi Auriga di Way Kambas, menjelaskan bahwa upaya restorasi secara tidak langsung akan menghambat perburuan liar. Pertumbuhan pohon di hutan akan menjadi banteng penjaga bagi satwa di kawasan TNWK, seperti gajah, rusa, harimau, dan satwa-satwa lainnya.
“Restorasi harus dilakukan secara integral dengan melibatkan masyarakat lokal. Tujuannya untuk menumbuhkan kesadaran, dan adanya sumber ekonomi alternatif. Keterlibatan masyarakat termasuk dalam hal penanaman bibit maupun kegiatan ekonomi yang bersumber dari jasa kawasan hutan, seperti pengembangan wisata edukasi di TNWK dapat dikembangkan.”
Ke depannya, Basuki berharap ada kegiatan wisata edukasi di kawasan konservasi, di mana para tamu yang berkunjung dapat menginap di rumah masyarakat, sehingga dapat menambah pemasukan bagi warga sekitar.
Dr. Mahfut Sodik, Kepala Urusan Program Anggaran & Kerja Sama TNWK, menyampaikan harapannya bahwa restorasi bukan hanya sekedar memulihkan kawasan, tetapi kehadiran petugas dalam restorasi memiliki dampak yang luar biasa. Selama ada petugas, maka satwa akan terlindungi dari perburuan, kebakaran hutan, dan juga membantu dalam pemulihan ekosistem agar satwa bisa hidup dan berkembang biak.
“Saya berharap, kegiatan restorasi di camp (area restorasi) bisa dipertahankan. Walaupun konsepnya adalah restorasi, tetapi ini termasuk juga dalam kegiatan penjagaan dan pemulihan ekosistem. Jika ada petugas, satwa secara otomatis mendekat dan pemburu akan menyingkir” kata Mahfut.
Menciptakan Habitat yang Baik Bagi Satwa
Penciptaan habitat yang baik bagi satwa merupakan bagian penting dari upaya konservasi, karena bisa mencegah terjadinya konflik antara satwa dan manusia. Ketika satwa memiliki habitat yang baik, maka mereka tidak akan kesulitan mencari makan sampai ke permukiman manusia. Pada saat yang sama, ketika habitatnya baik, satwa seperti gajah bisa membantu menjaga ekosistem hutan.
“Kami sering melihat gajah, rusa, harimau yang melintas di kawasan restorasi. Ini artinya mereka merasa nyaman berada di ruang gerak yang dilindungi. Kami berharap proyek penciptaan habitat bisa memberikan dampak yang baik bagi kelangsungan hidup satwa,” kata Basuki.
Tujuan akhirnya tentu adalah keseimbangan ekosistem hutan, baik flora maupun faunanya karena masing-masing memiliki fungsi menjaga alam. Misalnya saja, kotoran hewan yang bisa menjadi pupuk alami bagi tumbuhan.
Dedi menambahkan bahwa gajah sangat erat kaitannya dengan hutan. Selain gajah, ada badak dan harimau yang menjadi satwa kunci atau payungnya satwa di TNWK. Dengan menjaga tiga satwa tersebut, maka secara langsung satwa di bawahnya akan terkonservasikan juga.
Menekan Emisi Karbon
Pelestarian hutan sangat berperan dalam mengurangi emisi karbon yang mengakibatkan perubahan iklim. Kegiatan pelestarian hutan di sini termasuk upaya menghentikan deforestasi dan penanaman kembali untuk memperluas tutupan lahan hutan. Kontribusi hilangnya tutupan lahan hutan terhadap peningkatan emisi karbon sangat tinggi, khususnya di negara-negara tropis. Karena itulah, Perjanjian Paris (Paris Agreement) berfokus pada upaya pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan.
“Restorasi yang kami lakukan di TNWK ini memang hanya berkisar 0,1 persen dari keseluruhan luas zona rehabilitasi TNWK. Tapi, kami berharap ini dapat merangsang penghutanan kembali puluhan ribu hektar ilalang di sana. Lebih dari itu, kami berharap kegiatan ini juga memicu kegiatan serupa terhadap lahan-lahan kritis atau terdegradasi di Indonesia. Restorasi menunjukkan komitmen Indonesia, baik terhadap publik di dalam negeri maupun komunitas internasional, untuk mengurangi emisi sesuai Perjanjian Paris,” tutup Timer.