Oleh : Muhammad Ridwan
UU Cipta Kerja adalah undang-undang yang terus mendapat demo dari mahasiswa dan buruh. Mereka yang berunjuk rasa berorasi penuh emosi dan lupa bahwa sekarang masih masa pandemi. Padahal demo bisa menyebabkan klaster corona baru. Maukah kena virus covid-19 hanya karena nekat berdemo?
Masyarakat dipusingkan dengan aksi demo dan demo lagi. Setelah unjuk rasa sekaligus mogok massal tanggal 6-8 oktober 2020 lalu, ada lagi demo susulan tanggal 13 dan 28 oktober. Buruh pun akan kembali berdemonstrasi pada 2 November 2020 karena para buruh berjanji akan terus berdemo sampai UU Cipta Kerja ditarik lagi oleh DPR RI. Sedihnya, mereka berdemo hanya karena termakan hoax.
Padahal dalam pidato resminya, Presiden Jokowi sudah menjelaskan tentang hoax dalam omnibus law UU Cipta Kerja. Beberapa berita bohong telah diluruskan. Bahkan beliau mempersilakan masyarakat untuk mengajukan gugatan atau judicial review langsung ke tingkat Mahkamah Konstitusi, jika merasa kurang puas dengan pasal dalam UU Cipta Kerja.
Namun masih ada saja yang bandel dan merencanakan unjuk rasa. Padahal sudah jelas kegiatan ini dilarang keras dan tak mendapat izin dari kepolisian. Karena saat ini masih masa pandemi, sehingga demo yang menghadirkan ribuan orang bisa membuat klaster corona baru.
Para dokter juga mengkhawatirkan demo tersebut. Menurut Dokter Adib Khumaidi, Ketua Tim Mitigasi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, potensi melonjaknya kasus corona saat demo terjadi karena ada yang melepas masker saat berorasi. Selain itu, mereka tidak bsa menjaga jarak dalam radius 2 meter. Sehingga makin memperbesar resiko kena virus covid-19.
Dokter Adib melanjutkan, dalam demo penyebaran droplet bisa terjadi saat peserta unjuk rasa bernyanyi untuk menyuarakan isi hati. Alih-alih-alih dapat simpati, mereka mempertaruhkan nyawa karena bisa tertular virus corona. Selain itu, unjuk rasa mempertemukan ribuan orang, dan mereka pulang ke daerahnya dengan membawa potensi penularan covid-19.
Ketika ratusan peserta demo diajak aparat untuk melakukan tes rapid, ada 12 orang yang positif corona. Ini baru ratusan orang, masih ada banyak pendemo lain yang lolos dari pengetesan dan tidak tahu apakah ketularan virus covid-19 atau tidak. Setelah demo, yang didapat hanya rasa lelah dan potensi kena corona, bagaikan memasukkan diri ke lubang buaya.
Proses tracing pasca demo akan sangat susah karena bisa saja alamat KTP pendemo beda dengan alamat domisili, karena mereka hanya mengekos di Jakarta. Jika sudah menyebar, maka akan susah sekali menelusuri para OTG dan mereka tiba-tiba sakit keras. Kalau sudah begini, kapan pandemi bisa berakhir, kalau masyarakat tak mau tertib dan taat protokol kesehatan?
Memang setelah demo mereka tak merasakan gejala sesak napas atau kehilangan penciuman, sebagai tanda tertular virus. Menurut Dokter Wiku, juru bicara tim satgas covid, dalam 2 sampai 4 minggu kemudian baru terlihat gejala sakit dan tiba-tiba positif corona. Bagaimana jika tak segera diatasi? Bisa-bisa tak tertolong dan kehilangan nyawa.
Saat 1 OTG kena, maka akan berimbas pada keluarga dan lingkungan terdekatnya, karena mereka bisa saja menunjukkan hasil reaktif saat dites rapid atau swab. Selain itu, virus juga bisa menyebar saat pendemo melepas masker ketika makan di warung atau menyeruput minuman di minimarket. Apa mau menulari banyak orang dan merugikan kesehatan mereka?
Jangan ada lagi demo selanjutnya karena itu bukanlah langkah yang tepat untuk menyampaikan aspirasi. Jika memang tidak setuju dengan UU Cipta Kerja, ajukan saja gugatan ke MK. Ketika ada unjuk rasa lagi, maka akan mengundang virus covid-19 ke dalam diri sendiri dan menyebarkannya ke banyak orang.
Penulis adalah aktif dalam Lingkar Pers dan Mahasiswa Cikini