Oleh : Alfisyah Kumalasari
Segelintir orang berusaha membangun narasi pesimistis dengan melakukan deklarasi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI). Aksi tersebut pun tidak mendapat apresiasi masyarakat karena hanya menguras energi dan mengganggu kinerja seluruh elemen masyarakat yang saat ini berjuang melawan Covid-19.
Deklarasi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) di Lapangan Tugu Proklamasi pada 18 Agustus 2020 rupanya diwarnai oleh aksi unjuk rasa penolakan dari Aliansi Aksi Milenial Indonesia. Salah satu orator dari kelompok tersebut mengatakan bahwa mereka (KAMI) tidak patuh terhadap protokol pemerintah. Ada kerumunan dan tidak adanya physical distancing.
Mereka juga menuntut agar deklarasi tersebut membubarkan diri karena dianggap berpotensi menciptakan klaster-klaster baru di tengah pandemi Covid-19. Selain itu, orator menilai bahwa deklarasi KAMI sebagai momentum yang tepat untuk melanggengkan isu kepentingan politik.
Mereka bahkan mengkritik bekas pejabat yang berafiliasi dengan KAMI karena dianggap memanfaatkan momentum 75 tahun Kemerdekaan RI untuk memecah-belah bangsa. Sang orator bahwa mengatakan, jangan tulari masyarakat dengan virus kebencian terhadap pemerintah.
Sementara itu, Politikus Ferdinan Hutahaean juga mengkritik keras langkah beberapa orang yang tergabung dalam KAMI yang menggelar deklarasi di tugu proklamasi tersebut. Menurutnya, gerakan itu tidak mewakili suara rakyat.
Ia menuturkan, gerakan yang dilakukan oleh KAMI hanyalah gerakan suara saja yang tidak akan menjadi gerakan nyata di lapangan, apalagi menjadi gerakan rakyat.
Pendapat yang dikatakan Ferdinand tentu bukan tanpa alasan. Karena gerakan KAMI tidak berasal dari keresahan rakyat. Kemudian tokoh yang tergabung dalam koalisi tersebtu tidak mendapatkan kepercayaan publik, karena itu gerakan KAMI dinilial bukan mewakili suara rakyat.
Selain itu, dirinya menilai bahwa deklarasi tersebut hanya pengulangan dari gerakan-gerakan sejenis yang sudah pernah terselenggara sebelumnya.
Seperti gerakan untuk mengembalikan Indonesia kepada Undang Undang Dasar 1945 yang asli. Namun, gerakan tersebut berujung pada persoalan hukum.
Pada kesempatan berbeda, Boni Hargens selaku Pengamat Politik menduga bahwa KAMI berpotensi menjadi ancaman bagi stabilitas politik dan keamanan negara.
Direktur Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) itu menilai bahwa sejumlah tokoh pendukung KAMI berasal dari kelompok ideologis yang pada Pilkada 2017 ataupun Pemilu 2019 memainkan politik identitas.
Peraih gelar doktor filsafat dari Walden University, Minneapolis, Amerika Serikat tersebut menegaskan, kalau KAMI juga terlibat dalam mengamplifikasi politik identitas, gerakan tersebut berpotensi menjadi ancaman bagi ketahanan ideologi dan demokrasi Pancasila.
Ia juga menambahkan bahwa KAMI muncul di tengah kesibukan pemerintah dalam menangani wabah Covid-19. Gerakan mereka justru berpotensi menguras energi pemerintah dan berpotensi mengganggu jalannya pemerintahan.
Menurut Boni, koalisi tersebut juga bisa menjadi masalah tersendiri jika ternyata ikut bermain dalam kampanye Pilkada Serentak 2020. Dimana propaganda antipemerintah akan terus menjadi narasi politik yang dominan baik di tingkat lokal maupun nasional.
Boni juga berpendapat bahwa apa yang dilakukan oleh KAMI di Tugu Proklamasi, tak lebih dari sekadar oposisi jalanan. Seperti isu yang diusung dimana merupakan isu lama dan tidak ada yang baru.
Tentu patut kita berasumsi, apa benar KAMI dibentuk hanya untuk membangun bargaining position yang strategis untuk target pilpres 2024?
Apalagi Deklarator KAMI juga dinyatakan tidak memiliki basis dukungan massa yang memadai dan legitimasi moral mereka sangat lemah di mata masyarakat.
Kemampuan KAMI dalam menyelamatkan Indonesia tentu patut diragukan, apalagi aksi yang mereka lakukan tidak mematuhi protokol kesehatan, padahal status pandemi belum berakhir.
Kalau sudah begini, tentu saja tokoh – tokoh yang ada di dalam KAMI justru merupakan orang-orang yang perlu diselamatkan dari cara berpikir yang sinis dan pesimis terhadap pemerintah. Mereka perlu diselamatkan dari sikap skeptis yang cenderung absurd.
Sementara itu, Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja (FSP) BUMN Bersatu Arief Poyuono melalui tweetnya menanggapi bahwa langkah yang dilakukan oleh KAMI dalam deklarasinya di Tugu Proklamasi tak lebih dari sekadar kontes kecantikan jelang Reshuffle kabinet semata.
Arief juga mengingatkan kepada para deklarator KAMI agar tetap mematuhi protokol kesehatan. Karena ditakutkan akan ada cluster baru.
KAMI yang berdeklarasi memang berisi tokoh yang besar dan terkenal, namun apa yang dilakukan mereka rupanya masih belum bisa mendapatkan simpati masyarakat. Lalu apa yang akan mereka lakukan? Apa benar deklarasi yang dilakukan bisa menyelamatkan Indonesia? lha wong deklarasi yang mereka lakukan tidak mematuhi protokol kesehatan.
Penulis aktif dalam Lingkar Pers dan mahasiswa Cikini