Karya Risa Paramita
Rumput ilalang bergoyang dengan tenang, ku lihat sebuah ketenangan di sana antara angin dan rumput itu.aku duduk di taman ini ku pejamkan mata sejenak melepas pengap di dada, seketika sosok yang ku rindukan berdiri menjulang di depanku.
aku tersenyum tatkala tanganya mengulur ke arahku.
“Kamu udah lama nunggu?”
aku menggeleng.
“Tidak, baru lima menit mungkin.”
“Apa yang akan kita lakukan hari ini?”
“Jalan-jalan sore mungkin lebih menyenangkan.”
“Baiklah.”
Dia menarik ku pergi, aku mengikuti setiap langkahnya, inilah yang ku sukai darinya dia lelaki yang selalu memberi ketenangan serta kenyamanan di jiwaku.
dia cinta pertamaku yang membuatku bahagia, aku mencintainya lebih dari apapun.
ku ingin habiskan waktuku hanya bersamanya yah bersamanya bukan bersama orang lain.
Kami berjalan menuju sebuah bukit, Bukit itu sering di kunjungi beberapa pasangan, termasuk kami, kami selalu datang ke sini menatap pemandangan yang begitu menakjubkan.
Dia bersandar di batang pohon, sementara aku duduk di rerumputan.
“Aku selalu bahagia jika datang ke tempat ini bersamamu.” Ucapnya aku menatapnya.
“Aku juga.”
“Ra, aku mencintaimu.”
“Idihko tiba-tiba ngomong gitu, gak biasanya kamu Dra.”
Dia mendekat ke arahku duduk di sampingku, mencekal bahuku.
“Salah yah? Kalo aku pengen bilang kaya gitu.”
“Ehhnggakko, aku malah bahagia, tapi kesanya aneh.”
Dia malah tertawa saat mendengar ucapanku, yang tentu membuatku kesal, orang bicara serius ko malah ketawa.
“Loh ko ketawa, jahat banget sih.”
ucapku mulai kesal.
“Idihbaperan, hhegak usah gituihh nanti cantiknya luntur.”
Ucapnya dia mengacak rambutku dengan lembut.
Aku memutar bola mataku.
“Tauahh, ihh apaan sih nanti rambutku berantakan, aku sedang marah nih.”
Ucapku sinis.
“Dih marah ko kasih tau aku, lucu kamu.”
Aku segera berdiri, lelaki di sampingku ini benar-benar menyebalkan. Aku pukul pundaknya.
“Akhh, kenapa kamu memukul aku?”
“Yehgituajah marah, itu balasan karena kamu nyebelin.” Ucapku, aku segera berjalan menjauhinya, dia meraih tanganku lalu menyentil keningku yang ouh sakit banget.
“Dasar gadis nakal.”
Ucapnya sambil mencubit pipi tembemkuaihhh menyebalkan.
“Yah jangan cubit pipi yank, sakit.”
Keluh ku sambil mengusap pipiku.
“Maaf yahsyantik, soalnya pipi kamu gemesin.” Ucapnya ia segera membelai pipiku yang demi apapun aku merasa nyaman.
Aku melirik ke arahnya dengan sinis hingga aku mencubit lenganya yang demi apapun membuatku tertawa tatkala ku lihat dia meringis kesakitan.
“Haha, rasain kamu.”
Aku segera berlari menjauh darinya, ku julurkan lidahku meledek ke arahnya, ku dengar dia meneriaki namaku, sedikit mengumpat, namun aku malah mengabaikanya.
Aku terus berjalan dan ku pikir dia akan mengejarku tapiii….
Mataku terbuka hilir angin berhembus kencang merasuki jiwaku, ku lihat matahari mulai terbenam, hari mulai gelap.
aku bagaikan orang bodoh sekarang, aku menatap kesekelilingku cari sosok Andra.
Tapi dia tak ada, ku rasakan Bumi ini berputar, aku tak mengerti.
Kepalaku pusing hingga saat tubuhku hendak terjatuh seseorang mencekal punggungku seketika bumi berhenti berputar aku menatapnya.
“Andra.” ucapku.
“Iya Ra, kamu kenapa? Ko kaya yang kebingungan gitu.” Tanyanya, aku tak menjawab ku balas dengan pelukan, ku rasakan tubuhnya menegang saat aku memeluknya, aku terisak di dadanya.
“Hei kenapa menangis?”
Suaranya mulai berubah menjadi khawatir.
“Jangan pergi, jangan menghilang dan jangan tinggalkan aku.”
Ucapku semakin terisak tak ku dengar balasan darinya namun ku rasakan dia mengelus rambutku menenangkanku.
“Aku gak menghilang, aku juga gak pergi dan gak akan ninggalin kamu Ra, jiwaku selalu ada bersamamu.”
Ucapnya aku melepaskan pelukan ini.
ku tatap wajahnya tanganya mulai meraih pipiku menghapus air mataku.
“Janji.”
“Aku janji, kamu jangan nangis lagi yah, nanti cantiknya luntur.”
Aku tersenyum ke arahnya, ku peluk dia lagi dan dia membalas pelukanku.
Tubuhku menggeliat, ruangan serba putih ini menyesatkanku ku lihat Ayah, Ibu bersama kak Rey sedang menungguku, tapi tak ku lihat Andra.
Andra, kemana dia?
“Andra.”
Mulutku Refleks memanggil namanya Ibuku mengelus rambutku.
ku lihat dia merintihkan air matanya.
“Sayang, sampai kapan kamu begini? Ibu gak tega lihat kondisi kamu seperti ini.”
Isaknya aku menatap bingung, kenapa Ibu berkata seperti itu? ku lihat Ayah dan Kakak Lelakiku juga menatap sendu.
“Ayah, kak Rey. Ini ada apa? Aku tidak mengerti dan dimana Andra? Kenapa dia tidak menjenguku?” Tanyaku.
“Nak, sadarlah Andra sudah pergi.”
Jantungku terasa berhenti berdetak, kabar buruk macam apa ini?
“Kau selalu berhalusinasi tentangnya. Kau juga selalu menyalahkan dirimu sendiri atas kepergianya.
Ini takdir sang maha kuasa, jangan terus seperti ini. Kau selalu pergi ke tempat bahkan tidak ada siapa-siapa di sana, tapi Ibu lihat kau selalu terlihat bahagia, kau juga tertawa seolah Andra di sana, sadar nak Andra sudah meninggal.” Jelas Ibuku panjang lebar air mataku mengalir begitu deras dada ku terasa sesak, hatiku sakit menerima kenyataan menyakitkan ini.
Aku tidak bisa percaya, siapa saja katakan jika ini mimpi, ini semua bohong katakan jika Andra masih hidup, dia bersamaku tadi. Mana mungkin ia pergi.
Ku lepas infusan yang menempel di punggung tanganku secara paksa, keluargaku yang melihat itu terkejut atas ulahku.
“Lyra, apa yang kamu lakukan nak?”
Teriak Ibuku.
“Aku herus menemui Andra Ibu, dia pasti sedang menungguku sekarang.” Isaku ku tepis lengan Ayah yang tadi menahanku, aku berlari menuju pintu namun langkahku kembali tertahan saat kakak ku menarik tanganku.
“Lyra, Lyra lihat kakak, sadarlah kakak mohon.” Ucapnya dia mencengkram pundak ku.
“Kak, lepasin Lyra, aku harus pergi.”
“Lyra sampai kapan kamu kayak gini hah?
Kamu gak sayang sama tubuh kamu? Kamu gak sayang sama kakak, Ayah dan Ibu?
Sadarlah kamu selalu berbuat hal yang berujung menyiksa ragamu sendiri.
Kakak sayang kamu, kakak gak mau kamu seperti ini, lupakanlah Andra kamu harus relakan dia lyra…”
Bentaknya nada bicaranya meninggi, tubuhku bergetar air mataku mengalir lagi, kakak ku tidak pernah membentaku dia bukan tipe orang keras dia orang yang lembut.
Tapi kali ini dia membentaku.
Ku rasakan kedua tanganya melemah di pundakku setelah tadi Ia mencengkramnya.
“Maaf kakak gak maksud bentak kamu.” Sesalnya, aku menatap tubuhku sendiri, ku lihat tubuhku yang begitu kurus aku tatap Ayah dan Ibu, seketika kesadaranku muncul kilas balik ku ingat semuanya, Andra dan Aku telah berbeda dunia, Andra meninggal saat kecelakaan mobil dua tahun yang lalu, saat itu kami baru pulang dari bukit. Andra menyetir mobil dengan cepat hubungan kami saat itu sedang tidak baik, aku marah padanya kala itu.
Hingga tanpa kami sadari mobil lain melaju dengan begitu cepat menyenggol mobil kami, dan…
“Aaaaa Tidaaaak, tidakkk Andra.” Teriaku histeris aku menutup telingaku saat kidengar isak pilu kala itu aku bagaikan orang gila tubuhku bergetar ketraumaan yang amat dalam.
Ku rasakan Ibu memeluku.
“Ibu siapa saja hentikan semua ini, aku tidak ingin mengingatnya.” Isaku tubuhku melemah seketika ku rasakan tubuhku ambruk, namun kakak ku segera menahanya ku dengar mereka memanggil nama Dokter dan setelahnya pandanganku buram hanya kegelapan menimpaku.
Satu minggu kemudian, aku sudah bisa pulang ke rumah, keluargaku menyambutku bahagia.
aku keluar dari mobil. Ku lirik arah sekitar aku terkejut tatkala kulihat sosok yang aku rindukan selama ini, yang selalu membuatku gila.
Andra, dia bersandar di depan pohon dia menatapku dia tersenyum ke arahku, aku segera menggeleng.
“Tidak!! Sadarlah dia sudah pergi, saatnya untuk kau sadar atas kenyataan pahit ini.” Ucapku pada diri sendiri. Ku percepat langkahku mencoba mengabaikan keberadaanya, hingga saat aku sampai di ambang pintu aku berbalik, ku cari dia dan benar dia menghilang. Jadi selama ini aku memang selalu berhalusinasi tentangnya yang sebenarnya dia memang sudah pergi.
Hari baru, dunia baru Aku berjalan menuju bukit yang dulu sering kami kunjungi. Semua terasa berbeda tidak ku rasakan kehadiranya Andra lelaki yang selalu membuatku kesal namun nyaman tak lagi ada.
“Andra kemarilah.” Ku dengar teriakan seorang gadis, aku berbalik ku lihat dia adalah aku, Andra menghampiriku kami tertawa bersama Andra juga memeluk tubuhku.
Aku sedikit ikut tersenyum melihat pemandangan ini namun tak lama bayangan itu menghilang terbawa angin dari pandanganku. Yang ku lihat hanyalah sebuah rumput yang bergoyang seolah sedang mentertawakan kesedihanku.
Air mataku kembali mengalir, ku tatap langit sore ini berharap aku bisa melihat Andra.
Namun yang ku lihat hanyalah sebuah awan hitam, dan ku pastikan sebentar lagi akan turun hujan.
“Aku harap kau tenang di sana, Aku akan belajar ikhlas atas kepergianmu.
Pergilah jangan terus mengganggu hidupku.” Isaku sulit memang mengatakan itu, tapi bagaimanapun aku memang harus merelakanya, jika aku terus menahanya mungkin selamanya dia tidak akan tenang.
Ku lihat lagi bayang-bayang kami saat Andra menghapus air mataku.
“Jangan menangis lagi, nanti cantiknya luntur.” Bayangan itu seolah menyuruhku untuk kuat, ku hapus air mataku.
“Ini saatnya aku sadar, Bahwa cintaku tak lagi ada. Cintaku Hanyalah ilusi semata.”