Makasar, www.lampungmediaonline.com – Staf pengajar Fakultas Teknik (FT) Universitas Bosowa (Unibos) Makassar, Sulawesi Selatan mengembangkan inovasi produksi bahan baku bangunan paving blok berbahan dasar residu atau limbah plastik.
Keduanya, dosen sekaligus Ketua Program Studi Teknik Arsitektur FT Unibos Syam Fitriany Asnur ST MSc, dan sejawatnya Arman Setiawan ST MT. Inovasi itu mereka kembangkan, sebagai ujud pengejawantahan Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Dikutip dari Antara, Sabtu (12/10/2019), target program pengabdian ini menyasar warga masyarakat di lingkungan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Antang, Jl Tamangapa Raya, Kelurahan Tamangapa, Kecamatan Manggala, Kota Makassar.
Dimaksudkan memberi pengetahuan tentang pemanfaatan limbah plastik menjadi barang bernilai jual lebih tinggi dibanding dijual dalam bentuk mentah, inovasi produksi dilakukan sebagai alternatif pilihan peluang usaha menambah sumber pendapatan dengan memanfaatkan limbah yang kini jadi faktor pencemaran lingkungan.
“Selain berguna memiliki nilai tinggi, disini kami menggunakan plastik jenis PET yang tentunya membantu mengurangi sampah plastik,” Syam Fitriany Asnur, dosen hijabers ini di Makassar, Sabtu.
Penulis paper ‘Perubahan Tipologi Fasade Bangunan Rumah Toko di Jalan Somba Opu Makassar’, terbitan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta 2008 itu menjelaskan, sebagian besar warga sekitar TPA Antang termasuk kelompok masyarakat berprofesi pengepul sampah.
Masih rendahnya tingkat pendidikan serta kurangnya keterampilan yang dimiliki, ujar ia, jadi kendala yang dihadapi kelompok ini. Utamanya inovasi dalam pengolahan limbah sampah plastik yang banyak terdapat di TPA seluas 16,8 hektar, terdiri dari tujuh blok itu.
“Sehingga pemberian keterampilan dalam mengolah limbah plastik khususnya menjadi bahan bangunan yaitu paving blok, dapat dijadikan peluang usaha sehingga bisa meningkatkan penghasilan keluarga,” ujar ia.
Bicara tahapan, terang dia, beberapa proses kegiatan berlangsung, mulai dari survei awal lokasi TPA sampah terbesar di kota tersibuk di timur Indonesia itu, lalu berkonsolidasi dengan mitra prapelaksanaan kegiatan.
Termasuk, mempersiapkan bahan utama yang dibutuhkan dalam pembuatan paving blok. Yaitu pasir, oli bekas dan plastik jenis PET, seperti botol air minum kemasan, kemasan makanan, botol minyak goreng, botol jus, dan sejenisnya.
Tambahan informasi, Universitas Bosowa kini, tak lain Universitas 45 Makassar dulu. Kampus yang awal berdiri 9 Desember 1985 ini lantas bertransformasi jadi Universitas Bosowa dinaungi Bosowa Corporation pada 2015, kini megah dengan sembilan fakultas dengan gedung utama di Jl Urip Sumoharjo 180 Km 4 Kelurahan Sinrijala Kecamatan Panakkukang, Kota Makassar.
Jarak dari kampus ke TPA Antang sekitar 9,3 kilometer, yang bisa ditempuh selama 24 menit perjalanan mengendarai mobil.
Merujuk keterangan Dirjen Pengelolaan Sampah Limbah dan B3 Kementerian LHK, Rosa Vivien Ratnawati, di Makassar, seperti dilansir detik.com, Rabu (9/10/2019), salah satu picu Makassar gagal meraih Adipura tahun lalu sebab TPA-nya masih menerapkan sistem pembuangan open dumping –paling sederhana, dibuang di TPA minus perlakuan lebih lanjut, yang dilakukan Syam Fitriany dan Arman Setiawan bisa jadi inspirasi.
Memperkaya khasanah, redaksi kutip pula kisah inspiratif Hendro Wibowo, warga Perumnas Bumi Telukjambe Blok L, Desa Sukaluyu, Kecamatan Telukjambe Timur, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, yang sukses jibaku mengubah sampah plastik nonekonomis jadi paving blok yang tak hanya sebagai hasil inovasi, melainkan juga bernilai ekonomis.
Dikutip dari reportase Farida Farhan, jurnalis Kompas.com kontributor Karawang, Senin, (01/04/2019), Hendro yang bergelut dengan sampah sejak 2010 lalu itu, memakai limbah atau sampah plastik nonekonomis dicampur dengan limbah sterefoam dan pasir sebagai bahan baku produksinya.
Hendro melihat penanganan sampah selama ini baru sebatas artifisial, pengorganisasian masyarakat. Meski begitu pengorganisasian masyarakat untuk penanganan sampah, kata dia, bagus untuk program jangka pendek. Hanya saja, penyelesaiannya baru bisa menangani sekian persen dari total sampah yang dihasilkan.
Dari itu, inovasinya selain dari sisi ekonomis, juga jadi cara jitu “menyingkirkan” sampah plastik yang sukar diatasi. Kata Hendro, gaung inovasi pembuatan paving blok dari sampah plastik, sudah mulai sejak 2008. Namun ia melihal hal itu sebagai potensi yang bisa dikembangkan, memisalkan lubang biopori untuk solusi resapan air lingkungan sekitar sebagai pembanding.
Kepada Kompas, Hendro menjelaskan detail proses pembuatan paving bloknya. “Langkah pertama pembuatan paving blok ini ialah mencacah sampah plastik non-ekonomis dan sterefoam. Satu buah paving blok butuh lima sampai tujuh kilogram sampah plastik,” jelas dia, Minggu (31/3/2019).
Setelah alat pelebur dipanaskan, lanjutnya menerangkan, keduanya (cacahan sampah dan sterefoam, red) dilebur dan dicampur dengan pasir dengan komposisi 30:20:60 pada suhu 100 hingga 150 derajat Celsius selama 30-45 menit.
“Pasir berfungsi sebagai pemberat, agar saat terendam air tidak mengambang. Setelah melebur kemudian dimasukkan ke dalam cetakan,” tambahnya.
Hendro menyebut ia terus menyempurnakan alat proses, dan teknologi pembuatan. Dia beralasan, saat ini masih terdapat masalah pada aspek pembakaran, sebab masih menghasilkan asap yang cukup banyak.
Usahanya menyempurnakan teknologi melalui inovasi pembuatan paving blok itu, masih akan ia lakukan ke depannya. Misal, dengan proses mekanik. “Kita sekarang mencoba bagaimana kemudian kita bisa buat menjadi mekanik,” kata Hendro.
Dia menilai, paving blok dari plastik lebih kuat dan lentur sesuai dengan massa jenis plastik. Produk ini dinilai lebih awet daripada paving blok biasa lantaran keunggulannya tidak terkikis air. Daya tekan ditaksir bisa mencapai 20-30 ton. “Kemarin (sampel) diambil Pupuk Kujang, mereka mau bantu untuk tes daya tekan,” ungkap dia pula.
Diwawancarai di Saung SKM, yang terletak di desa berpenduduk terpadat di Telukjambe Timur yang sekaligus kawasan satelit hasil pengembangan Kota Karawang itu, Hendro berharap paving blok ini bisa diproduksi massal, khususnya di Karawang.
Sebab, ia berargumen, dengan sentuhan teknologi tepat guna, paving blok ini bakal menurunkan beban pemakaian plastik. Apalagi, persoalan sampah plastik tak cukup hanya dengan pemberdayaan masyarakat. “Sampah harus ada intervensi teknologi untuk dia bisa dihabiskan,” sergahnya.
Prospek usaha paving ini relatif menjanjikan. Hendro merinci, satu paving blok bisa dijual seharga Rp7.000-Rp10.000 per blok. Jika diproduksi massal, bisa menyerap lapangan kerja, jadi basis produksi dan pundi ekonomi.
Bagaimana, Pembaca? Telah jamak ditemui beragam program positif mengolah sampah/limbah sebagai kegiatan ekonomi, dari bank sampah hingga budaya ‘nol plastik’ dalam pelbagai aktivitas kita. Diharapkan, mampu efektif mengurangi dampak pencemaran lingkungan sekitar. Juga, menghapus status Indonesia sebagai penyumbang sampah plastik terbesar di laut kedua di dunia. Semoga. [Ant/dc/Kompas/red/Muzzamil]