Oleh : Dodik Prasetyo
Demonstrasi yang dilakukan di depan gedung DPR/MPR beberapa saat lalu adalah aksi untuk memprotes Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila. Aksi massa itu dihadiri oleh anggota beberapa Ormas yang tidak setuju dengan RUU HIP. Unjuk rasa ini diduga ditunggangi oleh Ormas pro khilafah yang memanfaatkan momen ketika pemerintah dituduh pro komunisme.
Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila masih menjadi polemik di masyarakat. Walau sudah jelas bahwa RUU ini ditunda dan presiden menolaknya, tapi masih banyak anggota organisasi massa yang tidak percaya, bahkan berani memfitnah pemerintah.
Mereka juga menuduh bahwa pemerintahan yang sekarang pro PKI, karena di dalam rancangan undang-undang tersebut tidak dicantumkan TAP MPRS XXV tahun 1966 tentang larangan komunisme di Indonesia.
Untuk menyuarakan protesnya, maka banyak anggota Ormas tersebut yang mengadakan unjuk rasa di depan gedung DPR/MPR. Aksi ini sangat disayangkan karena di masa pandemi covid-19 ini, mengumpulkan banyak orang tentu amat riskan karena bisa meningkatkan resiko kena corona. Mereka enak-enak saja berteriak di depan gedung DPR/MPR tanpa mempedulikan keselamatan dan kesehatan pribadi.
Seharusnya di masa prihatin ini kita lebih memikirkan cara untuk menjaga stabilitas politik. Lagipula, demonstrasi menolak RUU HIP yang katanya pro komunisme ini bisa saja ditunggangi oleh kelompok anti pemerintah. Hal ini disampaikan oleh ketua umum DPP Forum Komunikasi Santri Indonesia (FOKSI), Muhammad Natsir Sahib.
Lantas siapa yang memprakarsai aksi demo menentang RUU HIP? Mereka adalah anggota organisasi massa yang ingin mendirikan negara khilafah dan menolak mengakui presiden beserta pemerintahannya.
Di antara organisasi massa tersebut bisa jadi ada yang jadi anggota kaum radikal dan menolak azas Pancasila. Bagi mereka yang terpenting adalah negara yang berazaskan agama, jadi menolak Pancasila disertakan di dalam AD/ART organisasi tersebut. Hal ini sangat miris karena ternyata mereka anti Pancasila namun mengadakan unjuk rasa tentang Undang-Undang yang katanya menodai Pancasila.
Parahnya lagi, di antara kumpulan pendemo ada yang membawa bendera palu arit dan bendera PDIP, lalu membakarnya sebagai bentuk protes.
Hal ini tentu wajib ditelusuri karena bendera palu arit tentu tidak dijual di pasaran. Bisa jadi malah pendemo itu yang menyablonnya sendiri. Adanya bendera PKI yang selalu dibawa bersisian dengan bendera PDIP adalah bukti bahwa ada provokator yang menunggangi aksi demo menentang RUU HIP.
Jadi seolah-olah presiden yang seorang kader PDIP adalah pribadi yang menyetujui aliran komunisme. Padahal jelas-jelas tidak.
Status RUU HIP saat ini adalah dikembalikan ke DPR untuk dievaluasi. Jadi ketika ada demonstrasi yang menuntut presiden untuk mencabut usulannya, tentu tidak bisa dilakukan.
Karena yang berhak adalah pengusulnya, yakni fraksi DPR. Lagipula sekarang mereka juga masih rapat dan berencana memasukkan TAP MPRS yang melarang komunisme dan marxisme di Indonesia. Jadi tuduhan bahwa pemerintahan yang sekarang adalah pro PKI tentu salah alamat.
Isu RUU HIP dimanfaatkan oleh kaum radikal untuk mengadu domba antara rakyat dengan pemerintah. Jadi mereka ingin agar banyak orang yang ikut membenci pemerintah dan berusaha menghasut bahwa presiden adalah orang yang pro PKI. Lantas ketika provokasi itu berhasil, mereka bisa dengan mudah merayu masyarakat untuk ikut ke dalam organisasi kaum radikal untuk mewujudkan negara kekhalifahan.
Sebagai rakyat Indonesia, kita tidak boleh terprovokasi dengan mudah. Jangan terlalu percaya dengan adanya berita-berita di luar sana dan selidiki kebenarannya. Ketika ada demo menentang RUU HIP, maka lihat dulu apa sih sebenarnya penyebab diadakan unjuk rasa tersebut. Karena bisa jadi suatu kasus sengaja ‘digoreng’ untuk memprovokasi masyarakat, agar mereka ikut membenci pemerintah.
Penulis adalah kontributor Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia (LSISI)