Oleh : Edi Jatmiko
Jelang peringatan peristiwa gerakan 30 september, selalu ada isu kebangkitan PKI di Indonesia. Salah satu pihak yang menuduh adalah KAMI. Mereka memprovokasi rakyat agar tak lagi mendukung pemerintah, karena disinyalir banyak pejabat yang merupakan keturunan PKI. Tuduhan ini sangat tak berdasar dan merupakan sebuah politisasi.
Kita masih ingat tentang kekejaman PKI yang menculik para Jendral TNI, tanggal 30 september. Peristiwa itu diperingati dengan menurunkan bendera setengah tiang, dan keesokan harinya bendera dinaikkan lagi. Karena 1 oktober dijadikan hari kesaktian pancasila. Sejak saat itu, PKI diberantas dan terjadi perubahan rezim dari orde lama ke orde baru.
Namun sayangnya ada pihak yang masih sangsi jika PKI sudah minggat dari Indonesia. Gatot Nurmantyo dan para tokoh KAMI masih curiga akan kebangkitan PKI di negeri ini. Mereka lalu menulis surat terbuka kepada Presiden Jokowi dan meminta agar film ‘Pengkhianatan G 30S PKI’ ditayangkan kembali di TVRI. Tujuannya agar anak muda memahami kekejaman PKI.
Dalam surat tersebut, juga disebutkan bahaya bangkitnya PKI yang disebut dengan ‘Neo PKI’ dan ‘komunisme gaya baru’. KAMI Juga menuntut Presiden Jokowi agar menguatkan Pancasila dan menghalau pihak yang memplokamirkan diri sebagai anak keturunan PKI. Dikhawatirkan mereka akan membangkitkan paham komunisme dan menghancurkan Indonesia.
Tuduhan KAMI hanya ditertawakan oleh masyarakat, karena buktinya tidak ada tanda-tanda kebangkitan komunisme di Indonesia. Masyarakat sudah nyaman dengan negara demokratis. Mereka tidak mau Indonesia jadi negeri yang berpaham sosialis dan dicengkram dalam rezim tirani. Buat apa lagi membangkitkan PKI? Hanya membuat penderitaan bagi rakyat.
Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin menyatakan jika ada pihak yang menggoreng isu komunisme dan PKI, itu adalah sebuah politisasi. Bisa jadi ada kepentingan lain dari mereka. Kenyataannya, komunisme di Indonesia sudah dilarang dan PKI dibubarkan sejak lama. Jadi PKI bukan lagi bahaya laten, karena sudah tidak ada bekasnya.
Isu PKI tidak usah dibesar-besarkan, apalagi dikaitkan dengan pemerintah Presiden Jokowi. Naiknya tuduhan tentang komunisme yang sudah masuk ke Istana Negara adalah serangan yang selalu ditembakkan setiap bulan september. KAMI memang selalu mengkritik keras pemerintah dan selalu mencari celah agar masyarakat percaya tentang isu yang dilontarkan.
KAMI dalam tuntutannya menolak perhatian pemerintah terhadap pengusaha asing. padahal kebanyakan investor menanamkan modal adalah pengusaha asal RRC, dan Jack Ma sempat datang ke Indonesia sebagai tamu kehormatan. Dekatnya Presiden dengan RRC dijadikan bahan pergunjingan KAMI karena RRC berpaham komunis.
Hal ini mengakibatkan KAMI melempar isu bahwa Indonesia sudah dikuasai asing dan komunisme. Padahal kerja samanya hanya di bidang ekonomi. Kedua negara sudah memiliki paham politik masing-masing dan saling menghormati kepercayaannya. Tidak mungkin ada penjajahan perdagangan model baru, apalagi penularan paham komunis.
Masyarakat jangan percaya isu kebangkitan PKI yang dikobarkan oleh KAMI. Memang beberapa tahun ini tidak ada pelajaran tentang sejarah komunisme di Indonesia. Namun penghapusan ini bukan karena pemerintah pro PKI. Penyebabnya karena sejarah pada masa orde baru dikendalikan sesuai dengan pemimpinnya, sehingga menjadi his story bukan history.
Rancunya kebenaran saat pemberontakan PKI membuatnya tak lagi dicantumkan di buku pelajaran. Pemerintah juga tak melarang penayangan kembali film G 30S PKI, meski tak mewajibkan murid-murid untuk menontonnya. Buktinya film ini diputar lagi di sebuah televisi swasta.
Jangan mudah terprovokasi akan isu kebangkitan PKI yang disebut oleh KAMI. Karena mereka hanya mencari momen, mumpung bulan september sebagai peringatan G 30 S PKI. Tujuannya agar disorot masyarakat, mendapat popularitas kembali, dan bakal dicalonkan jadi pejabat kelak. Isu PKI adalah sebuah politisasi dari KAMI.
Penulis adalah kontributor Lingkar Pers dan Mahasiswa Cikini